35🍂 Balasan kebaikan

1.5K 83 17
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Pernah mendengar sebuah pribahasa bagai menabur garam di lautan, istilah itu terlintas dalam benakku. Perumpamaan ketika melakukan sesuatu yang nyatanya tidak berarti dan ujungnya sia-sia.

Sama seperti yang kulakukan belakangan ini, mencari tau informasi tentang kakak dari Kirana. Entah dari mana keinginan itu muncul, yang pasti ucapan maaf akan kuberikan padanya ketika bertemu jikapun aku tak tau persis letak kesalahanku padanya dimana. Dan anehnya tindakan itu hanya berbekal dari sekelumit cerita melalui sudut pandang Kirana mengenai rasa kecewa Kakaknya.

Bulan telah berganti tapi, tetap saja sikap Kirana padaku belum ada perubahan. Tak henti-hentinya aku mengucap maaf padanya tapi tak ada tanggapan. Ia selalu berlalu dengan kebungkaman serta tatapan tajam bak elang. Tindakanku itu belum berhenti sampai Jihan dan Fitri mengatakan bahwa Kirana itu ibarat tembok raksasa, akan langsung hancur jika dengan cara melempar bom dan akan hancur perlahan tanpa membuat pertahanannya diperkuat melalui cara halus dan tak teratur waktunya. Pilihan terakhir yang mereka sarankan untukku. Intinya jangan terburu-buru.

Beberapa waktu belakangan ini kami para peserta khataman berlatih dengan Mbak Hara dan Mbak Safa yang bertugas mengatur dan mengawasi jalannya pelatihan yang selesai tepat ketika adzan dhuhur berkumandang. Hal tersebut telah berlangsung selama hampir sepuluh hari, beberapa kali Ning Kia juga andil mengatur susunan barisan kami dari yang paling awal peserta khataman juz Ama seperti diriku disusul bi nadhor lalu barisan paling atas di panggung adalah milik peserta khataman bil ghaib.

"Mbak Anis, Hani pinjem catatan sampean ngaji sama Gus Malik," ujar Hani sambil membuka lemariku dan mencari buku yang dimaksud usai mendapat anggukan dariku.

"Yang pertemuan kemarin itu aku ngantuk banget, Mbak. Kepala udah nempel di dampar. Alhamdulillah duduk paling belakang, ndak kena tegur jadinya," gumamnya dengan tangan membuka lembaran buku pada halaman yang dituju.

Hani duduk membelakangiku, menyalin materi yang dijelaskan Gus Malik yang terlewat olehnya karena tidur.

"Han, kalau kegiatan khataman itu biasanya banyak Kiai dari pondok lain yang datang juga ya?" tanyaku penasaran, membayangkan seperti apa ramainya acara khataman pekan depan.

Mendengar pertanyaanku, santri dengan tubuh mungil itu menghentikan kegiatannya. Meletakkan pena Hi-tech yang biasa digunakan untuk maknani kitab, membalik badan hingga berhadapan denganku.

"Biasanya banyak Kiai yang datang dan itu mayoritas pengasuh pondok yang dekat dari sini pesantrennya. Ada beberapa juga sih yang dari jauh, teman karib Abah katanya dari Pemalang juga datang dan yang pasti semua keluarga ndalem juga ada."

Hatiku berdersir ketika mendengar Hani mengatakan semua keluarga ndalem hadir,  lantas apakah Juragan juga akan menampakkan dirinya?

"Tapi kayaknya Gus Zaki ndak rawuh deh, Mbak," gumamnya dengan raut wajah kurang senang.

"Biasanya beliau yang jadi qori' tapi belum tau lah besok siapa. Belum ada informasi soal itu sih," sambungnya.

Aku diam, teringat jika Juragan sedang menempuh pendidikan di negeri piramida mungkin sebab itu kedatangannya belum bisa dipastikan.

Hani menyelesaikan catatan sebelum mengerjakan tugas sekolah bersama temannya dari kamar depan. Dua karib itu memang biasa menyelesaikan tugas bersama di mushalla pondok, nyaman katanya dan juga sepi di sana jadi bisa fokus  mengerjakan.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang