بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***'Strata ternyata membuatku merasa tak seberapa. Kuhapus rasa yang baru tumbuh ini akhirnya'
~Luthfia~
________Hembusan angin disusul gerimis membuat desah jiwaku semakin tak terkendali. Tubuhku mulai basah seiring dengan rintik yang mulai deras. Langkah kakiku semakin melebar, bahkan bukan lagi disebut berjalan tapi berlari. Aku tersenyum, mengingat kembali kilasan pertemuan tadi.
"Ya Allah, inikah yang teman-teman rasakan ketika sedang jatuh hati pada seorang adam?" Tanganku meraba dada, merasa detak yang benar-benar menggila.
Dengan baju sedikit basah aku duduk pada dipan emperan rumah. Tersenyum tak jelas karena efek pertemuan tadi. Lamat kupandang sosok wanita berpeluh dengan bakul dalam gendongannya mendekat. Segera aku bangkit, menuju wanita itu lantas mengambil alih bakul yang berisi teko dan tempat makan serta satu ikat bawang merah.
"Bu, kok ndak kasih tahu Anis kalau hari ini mau panen?" Ibu tersenyum, membuka caping yang dikenakan.
"Apa kamu tadi sama Juragan, Nduk?" Nafasku tercekat mendengar pertanyaan Ibu barusan. Siapa yang dimaksud Juragan?
"Juragan siapa, Bu? Anis ndak kenal. Tadi Anis cuma ngomong sama pria yang tubuhnya tinggi sama pakai sarung itu."
"Yang ngomong sama kamu tadi di deket gubug itu Juragan, Nduk," balas Ibu yang sontak membuat mataku terbelalak. Pria itu yang dimaksud Juragan oleh ibu, aneh. Dari penampilan jauh dari kata pria berada.
Aku menggeleng, "Anis ndak tahu kalau itu Juragan. Setahu Anis dia sering datang ke sawah buat bantu-bantu. Dan Anis ketemu sama dia juga buat bilang terima kasih saja karena kemarin sudah menolong Anis waktu jatuh. Memang ada apa, Bu?" balasku, dengan setitik tanya dalam benak yang hadir mendadak.
Ibu diam, meraih tanganku lalu menuntun masuk ke dalam rumah. Beliau duduk pada hamparan tikar kecil yang ada di ruang tahu, mengambil teko yang kubawa lalu menuangkan air dalam gelas kaca. Mataku menatap heran, sungguh ini kali pertama Ibu menggantung pertanyaanku.
Kutimpakan telapak tanganku pada tangan ibu, "Bu, ada apa? Ada yang salah dengan Anis?"
Ibu menatapku, meremat jari tanganku lalu tiba-tiba menarik tubuhku dan menghujam wajahku dengan kecupan. "Kita orang ndak punya, Nduk." Kalimat itu cukup menjawab rasa penasaranku.
Kali pertama Ibu terlihat khawatir denganku, dengan interaksiku pada juragan yang dimaksud Ibu. Mungkin aku yang terlalu lancang menganggap perasaan pada juragan itu layaknya rasa seorang perempuan pada lawan jenisnya. Benar kata ibu, kami hanya orang ndak punya, tidak seharusnya aku menaruh rasa pada juragan yang jelas-jelas orang kaya.
"Ibu tahu?" Memastikan pemikiran ibu tentang rasaku yang mulai timbul. Apa sangat kentara?
Mengangguk, mengusap pipiku, "Ibu pernah ada pada posisimu. Dari gestur sudah cukup menyiratkan kalau kamu tertarik dengan juragan, Nduk."
"Bukan maksud ibu mematahkan perasaan kamu, tapi Ibu hanya ingin kamu tidak sakit hati nantinya jika beliau tidak membalas rasamu dengan serupa."
Aku bungkam.
"Juragan memang orang yang sangat baik, bahkan dulu waktu bapakmu masih ada dan juragan belum pernah mendatangi kami, juragan meminta seseorang membantu bapakmu ngurus surat tanah rumah ini supaya tidak sampai jatuh ke tangan Paklek mu yang maruk harta," sambungnya. Sedikit terkejut mendengar pernyataan ibu barusan, sebuah fakta yang baru saja aku tahu ternyata juragan itu turun tangan membantu mempertahankan gubug kecil kami.
"Siapa sebenarnya juragan, Bu?" Pertanyaan yang memang kulontarkan untuk mengusir tanda tanya besar. Karena jawaban pertanyaan itu nanti yang akan mampu menelan rasa dalam dada ini.
"Tidak ada yang tahu pasti siapa juragan dan dia tinggal dimana. Yang pernah Ibu dengar dari para warga jika juragan muda itu anak pemilik gudang beras besar yang ada di ujung desa ini." Jelas ibu.
Sudah cukup, terjawab sudah penasaran. Mulai detik ini, aku harus membuang rasa yang baru saja tumbuh, rasanya tidak pantas jika aku memiliki rasa pada juragan dengan strata tinggi yang bahkan secara usia mungkin juga terpaut cukup jauh denganku.
Aku harus fokus belajar, sebentar lagi ujian sudah di depan mata, aku ingin lulus dengan nilai bagus dan meneruskan pendidikan hingga menjadi orang sukses. Aku ingin membanggakan ibu dan membuat bapak tersenyum di sana. Juga membuktikan bahwa anak petani sepertiku bisa menjadi sukses dengan usaha dan doa serta ridho dari Allah.
****
"Dek, maafkan Mas." Suara parau sangat kentara dari pria dengan baju warna abu-abu. Berjongkok di hadapan wanita yang duduk di atas kursi roda.
Tangannya meraih tangan mungil di depannya, mengecup setiap jari wanita itu penuh sayang.
"Semua sudah takdir Allah, Mas. Mau sampai kapan menyalahkan diri sendiri?"
Pria itu menggeleng, merengkuh tubuh wanita di depannya. "Karena kelalaianku kamu menjadi seperti ini, Dek."
Tangan wanita itu melepas genggaman, bergerak mengusap punggung kokoh pria yang mendekapnya. "Aku ridho dengan takdir Allah, bila selamanya aku harus seperti ini, Mas Zaki."
Jika boleh meminta, pria itu memilih menggantikan posisi wanita dalam dekapannya. Rasa bersalah menggerogoti sebagian sisi hatinya, mengubahnya menjadi pria dingin tak tersentuh.
****
Semarang
Rabu, ١٣ رمضان ١٤٤١ ه
6 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...