بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***'Dari sekian banyak kata, kenapa memilih selamat tinggal? Apa tidak ada yang memberatkan hati jika pergi dari sini? Aku misalnya.'
____________Gema salawat terdengar merdu dari gedung yang sudah tiga tahun terakhir menjadi tempatku menimba ilmu. Aku menempatkan diri di kursi bagian belakang. Jujur, sangat lega karena sudah menyelesaikan jenjang ini.
Namun, kali ini ada yang sedikit berbeda. Salah seorang teman bernama Gita yang pendiam tiba-tiba datang padaku. Mengajakku bercengkrama meski balasanku cukup singkat. Di antara semua temanku memang ia yang tidak pernah sekali pun mengejekku. Beberapa kali malah melaporkan sikap buruk teman yang lain padaku ke guru. Sebenarnya ia sosok kutu buku dan kurang berkumpul dengan yang lain, dunianya hanya berkisar di perpustakaan. Pantas ia menjadi peringkat satu di jurusan berturut-turut karena bagiku cukup sulit menggeser posisinya.
"Apa kamu tidak malu duduk di sampingku?"
Terdengar ia membuang napas panjang. "Untuk apa malu? Malah sebenarnya dari dulu aku ingin berteman dekat denganmu, tapi kamu selalu menjauh ketika ada yang datang."
Bibirku terkunci, tidak berkutik karena ucapannya benar. Bukan menjauh, tapi menjaga hati agar tidak sakit saat kedatangan seseorang hanya untuk mengejek atau menghina.
Aku membuang muka, mengusap titik air yang tiba-tiba ada di ujung mata. "Aku tidak mau mendengar hinaan mereka."
Tangannya mengusap punggungku. Aku menoleh, melihat senyum tipis darinya. "Maaf juga karena tidak mencoba lebih keras lagi menjadi teman dekatmu. Setelah ini melanjutkan di mana?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Insyaallah aku mondok, Git. Nanti sore berangkat."
Gita kembali melukis senyum dari bibir. "Aku juga sama denganmu, tapi sambil kuliah."
Aku mengangguk. "Kulihat kamu jarang ikut berkumpul dengan yang lain. Kenapa?"
Ia terkekeh. Apa pertanyaanku terdengar lucu?
"Bukan tidak ingin berkumpul, tapi malas saja jika bersama mereka membuatku menyakiti orang lain. Malas juga meladeni ucapan sindiran mereka. Lebih baik berteman dengan buku. Mendapat ilmu pastinya ketika kita membacanya."
Satu lagi sisi lain darinya. Sikap ini yang seharusnya juga kulakukan. Masa bodoh dengan sikap ucapan buruk orang.
"Pantas saja peringkatmu sulit kugeser," balasku yang mengundang gelak tawa kami.
Pengumuman singkat dari kepala madrasah menginstruksi kami, kembali fokus pada acara hingga nama-nama siswa sebagai peringkat terbaik masing-masing jurusan dipanggil naik ke panggung.
Rangkaian acara pagi ini selesai tepat pukul sepuluh. Haru pasti ada, apalagi beberapa guru perempuan yang dekat denganku sempat memberikan pelukan perpisahan dan doa tentunya. Beliau berpesan agar aku tidak kecil hati meski tidak bisa kuliah seperti yang lain.
Usai pamit pada guru, aku dan Gita berjalan keluar sekolah beriringan. "Nis, aku pulang dulu. Kalau kamu sedang pulang saat liburan pondok jangan sungkan menghubungiku jika ingin bertemu, insyaallah akan aku usahakan jika libur juga. Dan ya, kamu bisa mampir ke butik Umi ku di ujung jalan sana jika ingin membeli pakaian, mungkin."
Hanya anggukan sebagai balasan, tidak tau bagaimana menggambarkan bahagia ketika di akhir masa putih abu-abu aku sudah mendapatkan teman karib.
"Sampai ketemu lagi, Nis. Kuharap ke depannya kita bisa sering bertemu dan lebih akrab lagi. Ah, rasanya tidak mau berpisah setelah tau begitu menyenangkan berteman denganmu." Gita masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Melambaikan tangan ke arahku sebelum kacanya tertutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
EspiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...