بسم الله الرحمن الرحيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***Terhitung baru satu hari aku kembali ke pondok usai merawat Ibu di rumah Bude. Meski sebelum itu sempat terjadi kesalahan pahaman di kampung.
Kasus kebakaran yang disebabkan konsleting listrik harus teralih sebab banyaknya dugaan lain dari orang-orang yang berasumsi musibah itu disengaja. Seolah dirancang dengan rapi oleh seseorang yang punya niat buruk pada keluargaku hingga tanpa terendus.
Adegan bersitegang antara para tetangga yang masih menaruh curiga pada Paklek Abu pun terjadi, bahkan terus berlanjut sampai terang-terangan menyudutkannya. Perbuatan itu dilakukan juga karena mereka paham betul sikap tercela Paklek Abu selama ini.
Menuduh musibah itu pasti karena campur tangan adik kandung Bapakku, mengingat niat buruk itu pernah akan dilakukannya meski gagal. Tapi kenyataannya dugaan itu sama sekali tidak benar, Paklek Abu tak ada sangkut pautnya dengan kejadian itu sebab memang murni karena hubungan pendek arus listrik.
Bahkan sampai pihak kepolisian yang dihubungi paska kasus kebakaran ikut turun tangan menyelesaikan masalah itu. Penjelasan pihak berwajiblah yang akhirnya membuat para tetangga percaya meski cukup sulit. Apalagi warga masih menaruh benci pada pekerjaan Paklek dulu sebagai lintah darat.
Memang benar, bekas dari segala sikap buruk akan terus terkenang. Sulit dirubah, butuh waktu lama menghapusnya hingga menghilang.
Aku yang sejak tadi duduk termenung tak sadar jika Jihan yang sebelumnya bilang ke kamar sebelah sudah kembali. Ia menempatkan dirinya sebelahku, mengambil baju kering yang tadi dibawa serta masuk.
"Nis, katanya tadi kamu ketemu sama Kirana ya?" tanyanya dengan tangan bergerak melipat pakaian.
Aku mengambil hijab miliknya yang ada di depanku, turut membantu melipat. "Iya, kenapa memangnya?"
Jihan tersenyum, tak membalas. Tangannya semakin sibuk melipat pakaian hingga rampung. Membiarkanku penasaran alasannya bertanya.
Tumpukan lipatan baju dimasukkan Jihan dalam lemarinya. Baru setelah itu ia kembali duduk di sampingku. "Sudah selesai masalahnya?"
Aku menerbitkan senyum setelah paham maksud pertanyaan yang ia berikan. "Alhamdulillah, sudah kelar. Dia kasih kabar kakaknya menikah dengan sosok pilihahnnya."
Sangat lega setelah masalah yang sebenarnya aku secara langsung tidak pernah turut andil itu selesai. Bagaimana bingungnya aku saat Kirana membenciku tanpa sebab yang kutau. Ia menampakkan sikap tak sukanya secara terang-terangan. Dan itu membuatku tak nyaman.
"Nis, nanti aku diminta gantiin Mbak Atika ngajar anak-anak di kampung bareng sampean," ucapnya yang otomatis menyita perhatianku. Membuat pandanganku terkunci padanya. Penasaran alasan Mbak Atika absen.
Tapi anehnya adalah Mbak Atika tak memberi tau padaku lebih dulu yang tak lain rekan mengajarnya.
"Mbak Atika belum bilang apa-apa sama aku," balasku sambil mengambil buku berisi nama anak-anak yang ngaji serta halamannya.
Jihan menarik napas panjang. "Mbak Atika titip kata maaf buat kamu juga tadi. Keburu dijemput keluarganya pulang sebelum bilang kamu."
"Pulang kenapa?" tanyaku. Karena jujur saja, aku banyak mendengar cerita dari santri lain kalau Mbak Atika itu selama dua tahun ini belum pulang ke rumah. Bahkan saat lebaran ia memilih menetap, rewang di ndalem waktu banyak tamu yang datang.
"Ayahnya sakit, dan juga beliau minta Mbak Atika pulang untuk acara lamarannya."
Ternyata sebentar lagi salah satu santri senior kami akan menikah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
EspiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...