بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمدJADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***
Juragan diam, semakin mengeratkan genggamannya meski aku sempat menolak.
Aku kembali berbicara, tidak lagi memikirkan Mbak Hara yang masih terdiam di posisinya. "Sakit juragan, saya seolah dipermainkan oleh semua sikap baik njenengan. Ketika rasa itu ada untuk njenengan, tapi saya berusaha menghapus karena merasa tidak pantas."
Kali ini juragan mengusap punggung tanganku dengan satu tangan, tangan lain digunakan menyentuh puncak kepalaku.
Air mataku kembali lolos, merasa beban yang lama kupendam ingin dilepaskan. "Ketika saya diberitahu ibu, njenengan pemilik gudang dan sawah di kampung, saya diminta mengingat siapa njenengan jika menaruh rasa. Ditambah lagi ketika saya akhirnya juga tau kalau njenengan seorang Gus semakin memaksa saya harus sadar diri."
Rentetan kebenaran tentangnya yang ku ketahui benar-benar kukatakan. Tak mau lagi menyimpan nya. Yang ku ingin hanya kejujuran, dan alasan atas semua keputusan dan tindakannya.
"Keluarkan semuanya, Nduk, " ucapnya ketika aku terdiam sesaat.
Isakku kembali, tapi tanganku tidak diam. Malah memberi satu pukulan di lengan juragan. Juragan menerima pukulanku, membiarkan lengannya kujadikan pelampiasan. "Njenengan egois, dua tahun menyimpan rahasia ini. Bersikap begitu baik sampai saya tidak mengerti alasan setiap kebaikan dari njenengan pada keluarga saya. Kenapa baru sekarang memberitahu?"
Juragan berpindah tempat, duduk di sampingku. Merangkul dan berulang mengecup singkat puncak kepalaku sebelum menjawab. "Saat itu usiamu masih enam belas tahun, masih sekolah, Nduk. Tidak mungkin saya membebanimu dengan status kita. Memberimu waktu untuk menyelesaikan sekolah sebelum saya datang membawa kebenaran itu. Bahkan ketika saya mendengar jika almarhum Pak Utsman ingin kamu mondok dan kamu juga ingin membantu Ibu, saya memilih membebaskan langkahmu. Kembali memberikan waktu untuk kebenaran tentang pernikahan kita."
Mendengar penjelasannya, tangisku pecah, aku membalas rangkulannya dengan pelukan. Menenggelamkan wajahku di dadanya. Ya Allah, ternyata bukan aku saja yang tersakiti. Ia juga sama. Terpaksa harus menyimpan kebenaran karena keadaan. Namun, ia tetap berbuat baik padaku, bahkan tidak pernah lupa memberikan nafkah lahir. "Kenapa njenengan kuat menahan semuanya? bisa menunggu dan sabar selama itu?"
Aku merasakan dagunya ditimpakan pada puncak kepalaku. "Karena itu pilihan saya. Ketika saya mengucap qabul, saat itu juga saya harus siap dengan semua hal atas dirimu, termasuk sabar menunggumu menjadi Anis seperti sekarang, Nduk."
Ya Allah masih pantaskah aku marah padanya? Kesalahan yang dibuatnya pun juga karena ingin menungguku siap dengan keadaan yang pastinya akan berbeda. Tidak lagi sendiri, tapi sudah bersuami.
Juragan perlahan mengurai pelukanku, meletakkkan kedua tangannya di pundakku. Menatap kedua mataku. "Apakah semua kesalahan saya sudah dimaafkan? "
Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk, mengundang senyum tipis darinya. "Boleh saya meminta satu hal darimu, Nduk? "
Sebelum menjawab aku teringat sesuatu, kami sedang ada di warung. Menengok ke sagala arah lalu bernapas lega usai tak menemukan orang, hanya ada kami berdua. Artinya tidak ada orang yang melihat kami berpelukan tadi, kecuali Mbak Hara dan Kang Dafa yang duduk di sudut warung dekat jendela. Jujur saja, sangat malu rasanya saat tersadar tadi tiba-tiba memeluk juragan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...