29🍂 Titipan tanpa nama pengirim

278 67 6
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Sebuah mushaf bersampul kertas bergambar mawar biru dalam genggaman kuletakkan di meja kecil, menyudahi nderes. Kepalaku menoleh, menangkap sosok wanita seumuran Ibu dengan wajah teduh berjalan menuju shaf paling depan  mengambil posisi duduk bersimpuh di atas karpet hijau. Menyimpan mushaf lawas dengan sampul biru di atas bantal dalam pangkuannya.

Kami berbondong-bondong mendekat, berbaris rapi menunggu giliran setoran hafalan. Ini bulan ketiga aku tinggal di pesantren ini, semua aktivitas yang ada di sini telah ku jalani dengan baik.

"Mbak, sampean dulu yang maju. Aku mau urutan maju sampean aja." Aku menggeleng pelan.

"Ndak ah, kamu dulu aja. Kenapa mau tukar urutan? Katanya nanti mau mampir ke foto copyan dulu sebelum berangkat sekolah. Urutanmu jauh denganku. Yakin, bakal sempat?" Hani mengangguk samar dengan telapak tangannya mengusap lenganku, mencoba merayu.

"Ndak jadi mampir, Mbak. Mau langsung ke sekolah aja. Nanti mata pelajarannya Umi, takut telat." Gadis dengan balutan mukena lajur berhias bordir warna hijau itu memandang Umi yang tengah menyimak.

"Kenapa juga masih mau tukar? Emang Umi galak ya kalau ngajar di kelas?" tanyaku dengan berbisik.

Hani terkekeh sangat pelan. "Ndak juga sih, tapi kurang sopan aja lah kalau telat. Walaupun biasanya Umi kasih keringanan waktu telat sepuluh menit."

Aku mengukir senyum. Membuka mushaf di tangan lalu memindah pita warna merah di sana ke halaman yang nantinya akan kusetorkan. "Itu tau takut telat, udah maju sesuai urutan aja Dek cantik. Emang mau ngapain sih, hm?"

Ia tersenyum tipis sembari menutup wajah dengan mushaf, menggeleng pelan. "Ndak mau ngomong ah sama Mbak Anis, takut nanti sampean keceplosan sama Mbak Jihan. Kan berabe kalau ketahuan Mbak keamanan yang satu itu."

Aku menggeleng pelan mendengar ucapan Hani barusan. Untuk urusan ketertiban memang Jihan yang mendapat amanah itu, mengingat sikapnya yang tegas sangat cocok dengan tugas santri bagian keamanan.

Tak lama giliran Hani maju menyetorkan hafalan yang otomatis menghentikan obrolan kami. Membuatku kembali fokus melafalkan ayat sebelum disetor.

Musholla yang sebelumnya ramai berangsur sepi karena semua santri telah selesai ngaji pada Umi lalu kebanyakan bersiap untuk berangkat sekolah. Hal itu tidak berlaku bagi kami santri yang memang hanya nyantri karena sudah lulus sekolah dan tidak kuliah. Memilih kembali mengulang hafalan dan ada juga yang bergantian menyimak.

Aku beranjak dari posisi, berpindah ke sudut musholla yang tak lain tempat ternyaman bagiku untuk nderes atau menambah hafalan.

Bibirku terdiam ketika suara panggilan dari luar musholla mengaburkan fokusku melafalkan ayat, tak lama sebuah langkah cepat seseorang terdengar mendekat. Aku tertegun ketika mendengar bisikan darinya lalu bergegas menuju tempat mengambil barang titipan.

"Ini Nis, seperti biasa kiriman buat kamu," ujar Mbak Ifa yang sering menerima kiriman untukku sembari mengangsurkan sebuah bungkusan plastik warna hitam.

"Beneran ini, Mbak?" Tanyaku kurang yakin sebab kiriman ini datang berdekatan dengan kiriman yang Ibu titipkan minggu lalu. Takut keliru atau salah penerima.

Mbak Ifa terkekeh menunjuk lembaran kertas yang menempel di bungkusan yang kudekap. "Lha itu ada tulisan untuk Nur Aniskurly. Coba kamu lihat tulisannya benar-benar biar makin yakin."Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih kemudian berlalu.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang