11🍂 Kalimat yang aneh

644 77 24
                                    

Assalamualaikum.. mohon maaf lama buanget Ndak update cerita ini entah berapa bulan... satu tahun mungkin😆. Lagi fokus rampungke cerita lain.

Terima kasih untuk yang sudah setia menunggu Zaki..

Happy reading
_______

Aku mengayuh pedal sepeda pelan. Melewati jalan di depan gudang penyimpanan beras yang kemarin di datangi untuk mengambil gaji Ibu. Mataku melirik sekilas orang-orang yang berdiri di depan pintu gudang dengan kesibukan masing-masing. Mengabsen sosok yang entah kenapa beberapa hari ini tidak terlihat batang hidungnya. Ku putuskan berhenti sejenak di sudut jalan kampung, menatap hamparan sawah dengan padi yang menguning. Menghirup udara khas daerah dengan hamparan persawahan yang luas lalu mengembuskannya perlahan kemudian mengulas senyum.

Beberapa hari ini aku baru menyadari satu hal, jika segala sesuatu telah dikehendaki oleh Allah terjadinya. Tidak mungkin menolak atau mencegah. Membuat hatiku pasrah dengan keputusan pemilik semesta setelah berusaha menghapus rasa tidak membuahkan hasil. Sadar, jika sebuah rasa cinta memang telah dianugerahkan Allah kepadaku. Dijatuhkan rasa cintanya pada sosok Juragan yang begitu baik. Kuputuskan membiarkan rasa itu mengalir begitu saja.

Kembali meneruskan kayuhan sepedaku dengan kecepatan sedang, menyebrangi jalan raya untuk sampai di toko sembako tempat biasa membeli kebutuhan rumah. Memarkirkan sepeda di depan toko lalu masuk. Mengambil selembar kertas daftar barang belanjaan yang akan dibeli dalam saku.

Aku berjalan mengitari bagian dalam toko, mencari letak setiap barang yang dicari. Mataku berbinar melihat banyak makanan ringan yang ditata berjajar di sudut toko. Tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk lengkungan. Entahlah, keinginan membuat makanan ringan untuk dijual tiba-tiba terbersit dalam pikiran. Mengambil satu bungkus kripik tahu lalu dimasukkan dalam keranjang belanjaan. Berniat menjadikan satu bungkus kripik itu sebagai contoh. Aku berjalan menuju kasir untuk membayar setelah memastikan semua barang yang ada dalam daftar belanjaan sudah masuk dalam keranjang.

Mataku membola ketika tubuh ini sudah berada di luar toko, menyapu pandangan di emperan toko tempat memarkirkan sepeda tadi. Tidak ada sepeda warna biru milikku, hanya terlihat sebuah motor matic yang terparkir di sana. Tubuhku mendadak lemas, berbalik lalu melangkah menuju ke dalam toko untuk bertanya pada penjaga disana. Namun, jawaban yang kudapatkan semakin membuat tubuhku lemas. Pengakuan jika emperan toko rawan pencurian. Maka dari itu, pemilik toko menempelkan tulisan di kaca depan toko agar sebelum masuk toko pembeli yang akan belanja bisa mengunci atau menggembok kendaraannya terlebih dahulu. Aku beringsut keluar untuk menanyakan pada seorang laki-laki yang berdiri di parkiran, namun jawabannya adalah tidak tahu. Sepedaku benar-benar hilang. Raib dalam hitungan menit.

Kepalaku tertunduk, menyembunyikan mata yang memanas.

"Ya Allah, apa yang kukatakan pada Ibu nanti?"

Dengan tubuh lemas aku berjalan pelan dengan tangan menenteng sebuah plastik berukuran cukup besar. Menyebrang dengan pikiran masih pada nasib sepedaku. Bahkan sampai tidak menyadari sebuah mobil melaju dengan kecang dari arah samping hingga merasakan tanganku ditarik oleh seseorang.

"Jangan melamun di jalan. Bahaya."

Mataku mengerjap, mengumpulkan kesadaran usai terkejut dengan kejadian tadi. Melihat sosok pria dengan balutan kaos dengan sarung hitam berdiri di depanku.

"Maaf. Dan terima kasih, Juragan."

Hanya deheman sebagai balasan.

Juragan memintaku berjalan di depannya. Berjalan dengan kesunyian sebagai teman hingga sebuah kalimat Juragan mengenai sepedaku membuat langkahku seketika terhenti. Menyebabkan Juragan yang berjalan di belakangku hampir menabrak tubuh mungil milikku jika tidak segera mengentikan langkah.

"Juragan tahu?" Kembali deheman yang kudapatkan.

"Bagaimana bisa Juragan tahu? Aku bahkan tidak memberitahu," gumamku. Mengernyit, memikirkan bagaimana Juragan bisa tahu kalau sepedaku hilang. Bahkan ia sendiri hanya sebentar membeli barang di toko dan langsung keluar. Tidak menemukan keberadaan sosok Juragan disekitar toko. Apa mungkin kejadiannya terjadi begitu cepat? Atau mungkin Aku yang tidak menyadari keberadaan Juragan?

Juragan menggeser tubuhnya hingga tidak lagi terhalang tubuhku. Melanjutkan langkah yang sempat tersendat. "Itu tidak penting. Yang penting sekarang ikuti saya untuk mengambil sepedamu," balasnya dengan berlalu.

Bagaimana bisa aku membuang rasa cinta pada pria yang berjalan di depanku ini jika ia begitu baik pada? Menggeleng kuat untuk mengusir pikiran yang tiba-tiba hinggap itu.

"Besok beli rantai buat ikat sepeda kamu sama tiang."

Aku mengangguk kecil meski tak dapat dilihat Juragan. Mengikuti langkah besar Juragan dengan kepala sedikit menunduk. Membuat mataku tanpa sadar terfokus ke bawah dan tak sengaja menyadari sesuatu pada kaki Juragan, melihat sedikit luka lebam dan sedikit goresan di kulit bagian mata kakinya.

"Maaf, Juragan."

Pria yang berjalan di depanku itu menghentikan langkahnya seketika usai mendengar permintaan maaf dariku. Ia berbalik lalu memandangku yang berdiri di depannya dengan kepala menunduk.

"Maaf? Untuk apa?"

Aku menghela napas berat. Mengangkat wajah perlahan hingga bertatapan dengan sosok pria dengan hidung mancung dan jambang tipis di sekitar rahang kokohnya.

"Karena aku, kaki Juragan sampai lebam."

Tak kunjung terdengar balasan. Hanya hening yang ada sebelum satu langkah pria di depanku tiba-tiba sedikit mengikis jarak kami.

"Tidak mungkin saya diam ketika melihat seorang mengambil apa yang bukan haknya. Membuat orang lain bersedih."

"Tapi kenapa sampai membuat kaki Juragan lebam seperti itu?" Lirihan ucapanku membuat Juragan mengembuskan napasnya.

"Hanya sedikit goresan," jawab Juragan.

"Tidak seharusnya Juragan berkelahi dengan pencuri itu."

Kembali terdengar helaan napas dari Juragan. "Apa saya akan menerima begitu saja saat bogeman dilontarkan oleh para pencuri itu sedangkan saya lebih dari mampu untuk membela diri? Tidak."

"Maaf, Juragan." Aku kembali mengucapkan maaf. Bahkan membuat Juragan menaikkan satu alisnya sembari menggeleng pelan.

"Kata maaf itu baik. Tapi jangan mengulangnya terus-menerus."

Setelah mengatakan itu kami kembali melanjutkan langkah lalu berhenti tepat di depan gudang beras. Aku hanya berdiri ketika melihat Juragan memanggil seorang pemuda yang bekerja di sana untuk mengambil sepeda. Menyuruh pemuda itu kembali menyambung pekerjaannya usai menyerahkan sebuah sepeda warna biru pada Juragan lalu mendorong sepeda itu ke arahku

Bibirku mengulas senyum, mengucapkan terima kasih pada Juragan yang kembali hanya dijawab dengan deheman dan sedikit anggukan tipis kemudian menuntun sepeda yang sempat kukira hilang itu ke jalan raya dengan Juragan mengikutinya. Berpamitan dan kembali mengucapkan terima kasih sambil duduk di atas sedel sepeda.

"Jangan buang rasa itu."

Kedua mataku refleks mengerjap, menatap Juragan yang tiba-tiba melontarkan kalimat yang aneh. Sama sekali tidak paham dengan maksud ucapannya itu. "Maksud Juragan rasa yang bagaimana?"

Juragan tersenyum tipis. Sebuah senyuman yang jarang sekali terlihat itu terukir. Membuat jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Memilih mengalihkan pandangan ke arah kendaraan yang lalu lalang untuk menyembunyikan wajah dengan kedua pipi yang tiba-tiba memanas.

Ketika tersadar akan sikapku, seketika aku menoleh ke arah tempat Juragan berdiri tapi, malah mendapati Juragan telah berjalan ke arah gudang. Pergi begitu saja setelah memunculkan sebuah tanya dalam benakku sebelum berlalu. Menulikan telinga juga tentunya usai mendengar pertanyaanku tadi.

Memutuskan mengayun pedal sepeda menyusuri jalan dengan pikiran masih terfokus pada ucapan Juragan.

"Apa Juragan bisa membaca pikiran?"

***
Malam Selasa
Semarang
25 Januari 2021
14 Jumbadil Akhir 1442

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang