14🍂 Juragan terluka

374 73 10
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Berpikir sempit jika menganggap wujud nikmat hanya berupa limpahan harta serta derajat yang tinggi di mata manusia. Salah, nikmat bukan hanya berupa materi dan kedudukan saja. Hal sepele yang merupakan nikmat tapi sering diabaikan salah satunya adalah mampu menghirup oksigen tanpa dipungut biaya. Apakah pernah hal itu terlintas dalam pikiran kita? Mungkin tak pernah.

Tanpa sadar kita menjadikan hal muluk-muluk perihal dunia sebagai patokan yang disebut dengan nikmat. Bahkan ketika datang ujian ringan, langsung saja ditanggapi dengan meronta. Merasa begitu besar ujian yang diterima meski hanya berupa sakit kepala. Sungguh aneh.

Rasanya egois jika terus memikirkan ujian yang menimpa tanpa mengingat nikmat yang diterima. Kadang manusia memang harus ditegur dengan cara halus bahkan pukulan ringan guna menyadarkannya usai limpahan nikmat yang pernah diterima. Ibaratkan manusia itu layaknya sosok yang tak tau berucap apa ketika sering diberi sesuatu hingga perlu dituntun mengucapkan kata terima kasih.

Kedua tanganku masih tengadah dengan derai air mata meluncur dari pelupuknya. Rasa haru meliputi hatiku, merasakan sesuatu yang belum cukup jika hanya diungkapkan dengan mengucap hamdalah. Inilah salah satu dari banyaknya nikmat Allah, memberikan peluang setiap hamba saling berbagi meski hanya dengan sekotak nasi.

Hari ini bertepatan enam belas tahun kepergian Bapak. Acara tahlilan sederhana baru saja rampung sekitar pukul setengah sembilan malam. Ba'da isya kami memang menggelar acara peringatan haul Bapak yang baru kali ini dapat dilakukan. Alhamdulillaah uang yang ibu kumpulan beberapa waktu lalu cukup ditambah sedikit uang hasil penjualan pertama kripik tahu tadi bisa digunakan memesan beberapa kotak nasi untuk dibagikan pada tetangga yang datang ikut mendoakan Bapak.

Aku menolehkan pandangan, menatap lekat netra dengan baluran selaput bening. Bersiap mengalir deras membasahi kedua sudut mata yang tampak dihiasi kerutan tipis. Kedua sudut bibir Ibu perlahan sedikit tertarik ke atas, membentuk senyum meski samar.

Usai menyelesaikan doa dan wirid, aku bergegas merapikan mukena dan mengambil hijab instan. Meraih mushaf di atas meja kecil sudut ruang sholat. Berjalan keluar dengan tangan mendekap mushaf menuju ruang tamu setelah sebelumnya meminta Ibu tidur lebih dulu, mengatakan tidak perlu membereskan ruang tamu sebab nanti akan kuberesekan usai mengaji.

Duduk di atas hamparan tikar menjadi posisiku. Kuawali membaca tawasul dengan suara cukup pelan sebelum melantunkan ayat-ayat Alquran. Meletakkan sebuah bantal kecil dalam pangkuan sebagai alas Alquran. Perlahan tanganku bergerak membuka lembaran demi lembaran hingga menuntaskan satu juz dalam waktu kurang dari satu jam.

Teringat sebuah cerita dari Ibu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar mengenai Alquran berhasil membangkitkan semangatku terus menerus melantukan ayat Alquran tanpa bosan. Mengingat begitu besarnya pahala membaca Alquran. Bukan dihitung per ayat, tapi hitungan pahala dari setiap huruf yang dibaca. Bahkan kelak di akhirat, Alquran bisa memberikan syafaat bagi orang yang sering membacanya.

Mengingat masa-masa sekolah dasar itu membuat kilasan kejadian tadi sore mendadak muncul. Dua bocah berusia kisaran sepuluh tahun berjalan dengan wajah gembira digandeng oleh Juragan. Keduanya tampak tertawa bersama tanpa sungkan ketika juragan merendahkan kepalanya lalu mendapatkan kecupan manis dikedua pipinya yang putih. Tersenyum simpul seiring tawa dari kedua bocah itu kian lepas kendali.

Tidak banyak yang dilakukan dua bocah itu, hanya duduk di gubug kecil tidak jauh dari sawah berteman rantang berisi makanan dan dua botol air mineral. Sesekali terlihat melambaikan tangan ke arah juragan. Membuat bibirku tanpa sadar turut tersenyum berbarengan dengan senyum tipis dari juragan ketika menatap objek berupa dua bocah kecil yang saat itu sibuk mengamati jajaran tanaman bawang tanpa teralih. Sepertinya semua tentang Juragan itu memang selalu menganggu pikiranku. Tak cukup pagi tadi kehadiran mendadaknya di hadapanku dengan tangan mengangsurkan sebuah brosur pondok pesantren. Tidak lama setelah itu langsung berlalu begitu saja meski berpamitan dengan cara mengusap puncak kepalaku.

Pikirkanku mengenai kejadian itu seketika berhenti saat mendengar suara ketukan dari pintu. Ada rasa takut tapi juga penasaran, siapa tamu yang datang pada waktu malam cukup larut begini. Bahkan jarum pendek jam di dinding telah menyentuh angka sepuluh.

"Wa'alaikumussalam, siapa?" kubalas salam dari sosok di luar. Memutar kunci pintu lalu membukanya pelan.

Mataku membola, jantungku seperti dipacu begitu cepat. Aku tersentak ketika menatap sosok yang berhadapan denganku. Wajahnya membiru di beberapa bagian dan lengan dilumuri darah segar. Terdengar ringisan pelan darinya sebelum kuminta duduk di amben emperan rumah.

"Apa yang terjadi pada Juragan? Kenapa tubuh Juragan terluka begini?" tanyaku dengan suara bergetar terdengar begitu jelas. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Tanganku seketika memegang pundaknya, menahan tubuh tegap yang hampir limbung ke arahku. Rasa takut mengenai kondisinya menyergapku. Membuat pikiranku kacau.

Beberapa kali kucoba kembali bertanya. Tapi, masih tak ada balasan darinya, hanya ringisan pelan yang terus terdengar kian merlirih sebelum sebuah kalimat dia lontarkan yang membuatku mendadak membeku. Menatapnya tak percaya.

***
"Kamu dimana, Zaki?"

Di tempat lain terlihat jelas wajah khawatir dari seorang wanita yang sudah cukup berumur. Berjalan ke beberapa arah sebab rundungan rasa cemas  memikirkan sebuah kemungkinan buruk terjadi pada putranya.

"Mas, Zaki kemana? Sampai jam segini kok belum pulang. Aku khawatir," ucapnya. Berjalan ke arah teras dan menatap jalanan yang berada cukup jauh, bahkan tak begitu jelas sebab terhalang gerbang.

Kedua matanya mengamati begitu teliti setiap pengendara motor yang melintas hanya dengan bantuan lampu penerangan jalan. Berharap sosok yang dipikirkan salah satunya yang mengendarai motor disana. Menepi ke arah halaman luas di depannya usai membuka gerbang lalu parkir di samping ndalem. Tempat putranya biasa memarkirkan dengan asal motor tua milik Abahnya.

Sosok pria dengan rambut kelabu yang melihat itu menggiring istrinya duduk di kursi kayu. Mengusap punggungnya, berniat meredam rasa khawatir yang melanda. "Insyaallah dia baik-baik saja, Dek."

"Mas, boleh kuminta Kang Abdul mencarinya?" Sosok pria yang tak lain suami wanita itu menggeleng pelan. "Insyaallah dia besok akan pulang," ujarnya meyakinkan. Menuntun sang istri segera masuk ke dalam rumah sebab terpaan angin malam kian terasa dingin menusuk.

***

What happen?

Malam Ahad
Semarang
3 Juli 2021

22 Dzulqaidah 1442

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang