بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***Flashback on
Suasana sepi dengan semilir angin lembut membelai kulit menjadi penipis aura tegang yang sampat kurasakan.
Sosok wanita cantik dengan perut buncit itu belum juga memulai pembicaraan. Matanya masih memandang tanaman bunga bugenvil yang tumbuh tak jauh dari pohon mangga dengan tatapan begitu lekat. Kedua netranya berkedip lalu mengarahkan pandangan pada langit sore dengan sedikit sapuan warna jingga di ufuk barat.
Di sini tidak ada siapapun selain kami, umi dan abah sedang menghadiri undangan salah satu alumni pondok yang menikah bersama beberapa santri yang ditugaskan membawa bingkisan.
Hampir setengah jam kami duduk tanpa suara sebelum helaan napas panjang terdengar dari Ning Kia lalu menoleh ke arahku, mengukir senyum lebar. Menampakkan raut wajah ceria seperti pertemuan pertama kami.
"Maaf ya, aku kelamaan ngelamun. Gimana kabarnya, Nis?" tanyanya, membuka percakapan dengan suara lembut seperti umi.
"Alhamdulillah, baik Ning," balasku dengan kedua telapak tangan berada dalam pangkuan. Posisiku saat ini tengah duduk bersimpuh di hadapannya layaknya santri pada umumnya ketika berbicara dengan pengasuh di ndalem.
Ning Kia kembali dengan mode ramahnya, berbicara padaku, menanyakan banyak hal yang kemudian kubalas lalu disambung dengan cerita tentang masa kehamilannya saat ini dan hal lainnya seolah tak kehilangan topik yang menarik untuk dijadikan bahan obrolan dengan batasan tertentu pastinya. Berada dalam situasi seperti ini jujur saja membuatku sungkan. Sang lawan bicaraku bukan orang sembarangan, melainkan putri dari pengasuh pondokku.
Suasana kembali hening sejenak sebelum kurasakan tangan Ning Kia mengusap pundakku pelan dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kamu sudah tau siapa Juragan sebenarnya, kan?" Pertanyaannya kali ini terdengar sangat pelan serupa bisikan.
Bibirku bungkam tapi anggota tubuhku merespon pertanyaan itu dengan anggukan pelan. Inilah topik yang sejak awal kutunggu, pembahasan mengenai Juragan. Mungkin tak lama lagi Ning Kia akan membuka obrolan panjang tentang Kakaknya itu.
Ning Kia menjauhkan tubuhnya dariku, mengambil posisi bersandar pada dinding dengan bagian pinggang diganjal oleh bantal. "Dia tidak pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata, cenderung memilih tindakan nyata. Jika mengungkapkan melalui kata pun dengan bahasa kias yang tak mudah dimaknai. Dia sosok tak terbaca, seolah yang akan diperbuat sulit ditebak maksudnya, bahkan aku yang tak lain saudara kembarnya pun tak begitu bisa mengertinya." Ning Kia menghentikan kalimatnya, memejamkan mata sebentar lantas membuka kelopaknya yang langsung mengarah pada sebuah bingkai foto di sudut ruangan. Foto dua anak kembar berusia kisaran lima tahun dengan baju serupa, yang membedakan hanya gadis kecil dalam foto tersebut memakai bandana. Baru kali ini kusadari keberadaan foto lawas itu.
"Dia baik, baik pada semua orang, tapi tindakan yang diperbuat akan jauh lebih baik lagi jika berhadapan dengan sosok penting dalam hidupnya. Sikapnya memang terkesan dingin tapi sebenarnya itu caranya menjaga hati, menjaga amanah yang selama ini begitu besar dipikul tanpa sepengetahuan banyak orang." Jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, menangkap maksud ucapan Ning Kia barusan yang seolah menjelaskan bahwa semua perbuatan baik Juragan padaku di luar batas karena aku adalah sosok penting baginya. Dan perihal amanah, kurasa ada rahasia lagi yang berhubungan dengan hal itu.
Ning Kia menarik napas dalam sebelum kembali bersuara. "Nis, mungkin hanya informasi itu yang bisa aku berikan. Sisanya biarlah waktu dan Mas Zaki yang menjawab. Pesanku cuma satu jangan menganggap buruk sesuatu sebelum tau alasannya."
Aku masih hanyut dalam pikiran mengenai semua penjelasan Ning Kia barusan. Pertanyaan yang sudah kusiapkan untuk membuka rahasia lain dari Juragan pun mengabur.
Tubuhku tersentak, terkejut ketika Ning Kia tiba-tiba meraih tanganku dan menggenggamnya. "Nis, apapun yang terjadi nantinya, aku minta tolong padamu tetap percaya pada Juraganmu itu."
Flashback off
Sang awan gelap tampaknya benar-benar tak mau memberikan ijin rebulan dan bintang berbagi sinar untuk mengikis gulita. Sapuan awan hitam pekat merata terbentang di cakrawala. Mungkin pertanda tak lama lagi rahmat Allah berupa guyuran air hujan akan datang.
Aku yang hendak menuju ujung gedung pondok putri menghentikan langkah, menarik ranting pohon belimbing yang rendah hingga patah karena takut melukai orang yang lalu lalang. Ranting itu kuletakkan di bawah setelah kupatahkan menjadi bagian-bagian kecil.
Aku mendongak ketika mendengar suara gesekan sandal mendekat. Menangkap kedatangan santri berkerudung navy yang berjalan menghampiriku. Ia berdiri tepat di depanku dengan tatapan tak suka.
"Ranting yang diam itu sama halnya seperti hati, yang semula baik-baik saja lalu kau patahkan begitu saja."
Kedua netraku kuarahkan pada manik hitamnya. "Apa maksudmu, Kirana?"
Kirana mengarahkan jari telunjuknya padaku, menatapku dengan kilatan amarah.
"Kamu, adalah orang yang berhasil membuat hati kakakku layu, membuat harapannya hilang! Kamu itu orang jahat Anis! Aku benci kamu!" Kirana menekan setiap kata yang diucap dengan suara rendah menusuk yang jelas menampakkan kebenciannya. Ternyata itulah alasannya selama ini ia membenciku.
Jihan dan Fitri yang melihat kami dari kejauhan berjalan tergesa-gesa menghampiri. Mungkin menangkap adanya perselisihan yang terjadi di antara kami. Beruntung tempat kami berada saat ini sepi karena jarang dilalui ketika malam. Jihan yang hendak bersuara seketika diam ketika Kirana memintanya tidak ikut campur. Kedua temanku itu saling pandang sebelum akhirnya Fitri mendekati Kirana, mengusap punggungnya pelan. Sedangkan Jihan memintanya untuk lebih tenang.
"Kalian tidak akan tau maksudku bersikap begini kecuali teman kalian ini. Tindakannya yang menjadi penyebab hal buruk terjadi!"
"Apa sebenarnya maksud perkataanmu, aku masih tidak mengerti maksud ucapanmu, Kirana. Aku bahkan tidak mengenal kakakmu, lantas tindakanku yang mana maksudmu?" Aku masih berusaha tak terpancing emosi, membalas perkataannya dengan suara pelan.
Dengan napas memburu Kirana kembali bersuara. "Iya, kamu tidak mengenalnya tapi dia sangat tau dirimu. Kedekatanmu dengan sosok yang diharapkan kakakku membuat niat baik yang sempat direncanakan batal!"
"Siapa yang kamu maksud?"
Kirana melepaskan paksa tangan Fitri dari pundaknya, menghempas kasar cekalan Jihan yang berusaha menghalangi lalu mendekatiku. Ia mendekatkan kepalanya lalu membisikkan sesuatu padaku yang seketika membuat tubuhku membeku. "Gus Zaki."
Usai mengatakan itu ia pergi begitu saja meninggalkan kami yang terdiam membisu dengan pikiran masing-masing. Tak lama rintik hujan turun bertepatan dengan air dari larikma netraku mengalir.
Astaghfirullah, kenapa semuanya menjadi rumit seperti ini?
Ya Qowiy, kuatkan hamba.
***
Maaf cuma dikit banget, agak maksa update biar lebih jelas masalahnya walau masih kocar-kacir bahasanya. Jangan kaget kalau ada edit di part ini. Vote & komentar jangan lupa.
Malam Senin
Semarang
12 Juni 2022
13 Dzulqaidah 1443
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...