بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
_________Bukan perkara mudah melepas suatu yang begitu berharga. Saat sebuah rasa tumbuh seiring guliran waktu yang dilalui membuat enggan mengikhlaskan. Tapi apalah daya, tatkala takdir memang mengharuskan perpisahan. Meyakinkan ada akhir baik usai perpisahan itu.
Zaki menatap samar raut wajah Arif, kentara ingin mengatakan sesuatu kepada adiknya. Membuat Zaki memutuskan mengangkat kursi yang ada tak jauh dari ranjang Kia, menepuk punggung Arif lantas meletakkan kursi tadi di dekat Kang Abdul untuk duduk disana. Memberi anggukan saat Arif meminta ijin berbicara kepada Kia.
Mata Kia kian berkaca, membuatnya menyembunyikan itu dengan menunduk.
"Ning, apa kabar?" Arif bertanya dengan mata menatap Kia yang menunduk.
"Alhamdulillaah," balas Kia masih dengan posisi yang sama.
"Abah apa kabar? Sehat?"
"Alhamdulillaah, sae."
"Maaf, atas harapan yang kuberikan dahulu. Maaf karena hingga kini belum terwujud."
Kia menggeleng pelan, perlahan mengangkat wajah. " Dokter, aku--"
"Kang Pip, Ning. Aku masih sama, hanya santri dari Abah sampean. Terlepas dari profesiku sekarang," sela Arif cepat. Merasa kurang nyaman dengan panggilan yang barusan Kia sematkan padanya.
Sesaat keheningan mengisi sebelum Kia menuturkan sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya.
" Sampean tidak bersalah, Kang. Hanya aku saja yang kekanakan saat itu, memaksamu memberikan sebuah harapan padaku." Arif menghembuskan napas panjang, mengambil sesuatu dari saku snellinya lalu menyerahkan kepada Kia.
"Bukan paksaan, tapi juga keinginanku, Ning. Aku bahkan tidak bisa melupakan pemilik sapu tangan itu."
Tangan Kia gemetar meraih sapu tangan yang Arif berikan. Mengenggamnya kuat seraya terisak pelan. Kia tak menyangka sapu tangan lusuh yang dulu diberikan pada Arif untuk menyeka darah di kening usai menolongnya saat itu ternyata masih disimpan. "Aku lumpuh, Kang. Carilah wanita yang sempurna, bisa menjadi istri yang mampu melayanimu dengan baik. Dan itu bukan aku."
Arif kembali mengambil sesuatu dari dalam sakunya, memberikan kartu namanya kepada Kia yang langsung dibalas Kia dengan tatapan penuh tanya. "Kang, apa ini?"
"Aku sudah tahu, Ning. Aku menerimamu apa adanya. Dan ijinkanlah aku yang menjadi perantara kesembuhanmu atas ijin Allah." Arif berusaha meyakinkan Kia, memberitahu jika dia adalah dokter spesialis yang biasa menangani hal itu.
"Tapi aku tak yakin, Kang. Sudah lama aku berada di atas kursi roda setelah kecelakaan itu."
Zaki yang sejak tadi mengamati Arif dan Kia hanya mampu terdiam. Berharap bujukan Arif bisa membuat Kia semangat lagi untuk bisa berjalan dan mau kembali melakukan terapi. Sebelum Kia terbangun, Zaki sempat mengatakan bahwa Kia lumpuh setelah mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu.
"Aku yakin pada Allah, Ning. Ikhtiar seorang hamba tidak akan diabaikan begitu saja oleh Allah. Hasilnya mampu membuat kita bergembira." Kia tercenung mendengar perkataan Arif barusan. Sebuah kalimat yang tidak lain adalah kalimat yang Kia berikan kepada Arif waktu masih mondok dulu. Sosok itu seolah menyentilnya dengan mengingatkan apa yang pernah ia katakan.
"Masih ingat dengan kalimat itu, Ning? Ingat, Allah sangat mudah merubah segalanya. " Sambung Arif usai menangkap perubahan raut wajah Kia setelah mendengar ucapan sebelumnya.
"Bukan tak yakin pada Allah, Kang. Tapi aku tak yakin pada diriku sendiri."
Mata Arif menatap lekat kaki Kia yang tertutup selimut. Mengangguk samar. "Aku yang akan membantu, membuatmu yakin pada dirimu sendiri, Ning."
"Aku yang akan mengulurkan tangan membantumu berjalan, aku yang akan memapahmu perlahan. Ijinkan aku memintamu kepada Kiai Amir, Ning," sambung Arif penuh keyakinan.
Zakia terpaku mendengar penuturan Arif. Tidak mengangguk atau menggeleng, malah menatap ke arah Zaki yang duduk tak jauh darinya seolah meminta persetujuan.
Usai mengatakan kalimat itu Arif langsung berpamitan kepada Kia serta beberapa orang yang ada dalam ruangan setelah mendapat panggilan dari seorang perawat. Membuat Kia menarik napas panjang mengakhiri sebuah perasaan tak karuan usai tubuh Arif benar-benar sudah menghilang di balik pintu.
Zaki yang tau akan pikiran saudara kembarnya memilih langsung mendekati. Memberikan usapan di puncak kepalanya.
"Sudah waktunya kamu mengarungi bahtera kehidupan dengan sosok nahkoda, Dek. Allah mendekatkan separuh agamamu. Jangan menolak sesuatu ketika dalam hatimu sendiri begitu menginginkan."
"Bagaimana dengan Mas Zaki? Aku juga menginginkan hal serupa berlaku padamu, Mas."
Zaki hanya tersenyum tipis sebagai balasan dari ucapan Kia.
****
Di bawah rindang pohon Angsana, Anis merenungkan sebuah kebenaran. Semua yang tersimpan rapi mulai terlihat olehnya. Satu kebenaran berhasil didapatkan Anis usai datang ke sebuah gudang penyimpanan beras tempat biasa para petani mengambil gaji setiap bulan. Tempat yang sama dimana menjadi persinggahan rutin Juragan usai memantau kinerja petani.Siang itu setelah membantu bekerja di sawah, Anis diminta Ibunya mengambil upah di gudang besar yang ada di ujung desa. Saat itu pula ia mendengar beberapa karyawan mengatakan bahwa Juragan mereka berlaku serupa orang biasa bukan seperti seorang kaya, memberikan bantuan pada siapa saja. Menyembunyikan kebenaran bila tak hanya seorang hartawan tapi juga seorang anak dari tokoh yang disegani. Entah siapa Anis kurang mendengar jelas ucapan terakhir mereka.
"Dia memang baik pada siapa saja, kenapa aku masih saja berharap jika kebaikannya padaku karena sebuah rasa tertarik? Harusnya aku sadar, bukan kembali memikirkan sesuatu yang tidak mungkin. Aku ini hanya anak seorang petani."
Anis menunduk mengamati tanah yang basah kemudian beralih menatap langit. "Kita jauh berbeda Juragan, aku serupa bumi dan kau langit. Mustahil menggapai langit dengan tangan tanpa kuasa milikku."
🍂🍂🍂
Semarang
18 November 2020Cukup ya part tentang Kia..lanjut Anis lagi.
Matur suwun buat yg masih setia dengan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
EspiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...