46🍂 Alasan Umi Fia

455 55 11
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QUR'AN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Suara deru mesin terdengar jelas di tengah padatnya jalanan yang macet, bahkan bunyi klakson yang berulang ikut meramaikan. Sudah cukup lama terjebak di kemacetan ini yang membuat mobil yang kutumpangi hanya bisa sedikit bergerak.

Aku meneguk air mineral dalam botol, menghilangkan dahaga. "Mas, apa tempatnya masih jauh?"

Mas Damar yang sejak tadi fokus ke depan menoleh. "Ndak, cuma tinggal belok kanan di tikungan depan. Bosen ya?"

Aku tersenyum kikuk. "Emang biasanya jalan rayanya padet begini ya Mas?"

Mas Damar terkekeh pelan seraya kembali menekan gas ketika mobil di depannya mulai bergerak. "Kadang, Nok. Biasanya Mbak mu juga kalau diajak ke sana kayak kamu begini, terus dia juga ndak betahan. Padahal, cuma nawar sebentar."

Aku mengambil permen yang ada di kantong baju. "Berarti sekarang jadi ambil meja buat warung, Mas?"

"Iya, jadi. Meja di warungnya Pakdemu ada beberapa yang rusak." Aku mengangguk.

"Yang mau jual meja kayu itu dulunya punya warung makan, nah sekarang udah ndak jualan lagi, ikut anaknya tinggal di Kalimantan jadi warung sama barang-barang di warungnya dijual buat modal buka di sana. Makanya beberapa waktu lalu Mas sama Mbak mu datang buat rembukan masalah harga sama yang jual sampai akhirnya deal."

Mas Damar mulai menginjak gas lebih dalam, mobil pick up yang kami tumpangi mulai berjalan lebih cepat karena arus kendaraan mulai lancar.

Tepatnya jalanan mulai tampat sedikit lengang ketika dua orang polisi datang mengatur lalu lintas. Penyebab kemacetan ini ternyata tak lain karena ada kecelakaan di perempatan jalan depan, satu buah mini bus membanting setir untuk menghindari pengendara motor yang ugal-ugalan, akibatnya menabrak warung kelontong pinggir jalan.

Mobil berhenti tepat di depan warung makan yang papan namanya tengah diturunkan.

Aku turun mengikuti Mas Damar, berjalan mendekati sepasang suami istri yang tengah melihat seorang pria yang berusaha menurunkan papan nama kedainya.

Mas Damar bersalaman dengan keduanya yang juga kuikuti. "Pakde, barangnya bisa saya angkut sekarang?"

"Bisa Mas, ini nanti sekalian dibantu sama Pak Min. Nunggu Pak Min nurunin ini dulu, nggih." Mas Damar mengiyakan.

Pria yang berusia tujuh puluhan tahun itu membawa dua kursi plastik dari dalam warung, meminta kami duduk di sana sedangkan sang istri ijin ke dalam untuk membuatkan minuman.

"Lho, Mas Damar. Kok ndak sama istrinya?" ucap wanita berusia lanjut itu sembari meletakkan nampan berisi dua gelas es teh di meja kayu kecil yang ada di depanku.

"Mau ngajak adekku keluar Bude, mumpung lagi pulang ke rumah sebelum balik ke pondok," ujar Mas Damar sembari mengambil gelas berisi es teh lalu meminumnya.

Wanita yang ku tahu bernama Paini kini menatapku sambil mengulas senyum. "Lihat nduk ayu Iki kok malah jadi iling sama putuku lanang."

"Yang di Kalimantan itu, Bude?" Mas Damar bertanya dengan tangan bergerak meletakkan kembali gelas yang masih tersisa setengah es teh.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang