بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA***
Tiga puluh bungkusan plastik kecil berisi kripik tahu sudah tertata rapi dalam keranjang sepeda, tinggal menitipkan ke beberapa warung yang berada tak jauh dari rumah. Kemarin aku sempat datang ke beberapa warung untuk ijin menitipkan kripik dan alhamdulillaah kebanyakan memperbolehkan.
"Bu, Anis nitip kripik dulu, ya. Habis itu langsung ke sekolah sekalian mau lunasin tunggakan sebelum acara perpisahan." Tanganku bergerak meraih tangan Ibu, mengecupnya.
"Maafin ibu, Nduk. Gaji kamu bantu Pakde di warung yang seharusnya bisa ditabung, malah harus dipakai melunasi tunggakan bulanan. Padahal biaya sekolah kamu adalah tanggung jawab Ibu."
Aku menggeleng, mengusap punggung tangan Ibu. "Anis kerja memang buat bantu Ibu. Sudah, Ibu jangan minta maaf, ya. Anis pamit, assalamualaikum."
Sapuan angin dari arah barat menerpa wajahku lembut. Kayuhan sepedaku melambat seiring gedung tinggi berlantai tiga kian tampak. Aku turun dari sepeda ketika sampai di depan gerbang tempatku menuntut ilmu. Masuk, menuntun sepedaku menuju sisi paling kanan jajaran bangunan bercat hijau itu. Memarkirkan di parkiran sepeda para murid.
Sebelum langkahku sampai di ruang tata usaha untuk merampungkan pembayaran bulanan yang menunggak, dari kejauhan mataku menangkap sosok pria di gedung lain yang berhasil mencuri perhatianku. Balutan kemeja biru tua dengan sarung hitam serta peci hitam terlihat begitu cocok melekat tubuhnya.
Tampak beberapa karyawan dan guru yang melintas begitu menghormatinya. Beberapa dari mereka menyempatkan diri bersalaman dengannya, bermaksud memberi kecupan di punggung tangannya namun, langsung ditarik entah kenapa. Bahkan kepala sekolah juga begitu segan padanya. Berdiri sambil berbincang mengenai sesuatu di depan ruang khusus untuk tamu sekolah sebelum akhirnya diminta masuk ke dalam.
Kepalaku menggeleng pelan, mengusir bayangan pria itu yang mendadak merasuk dalam pikiran. Menatap ke depan sambil melangkah mendekati ruang tata usaha. Tubuhku tepat berdiri di depan kaca pembatas ruang tata usaha dengan tangan mengambil uang dalam tas kecil sebelum mengangsurkan lembaran uang pada staf bagian keuangan. Aku menyungging senyum ketika menerima selembar kuitansi untuk bukti ketika pengambilan ijazah. Meninggalkan ruang tata usaha kembali menuju parkiran sepeda untuk bergegas pulang.
Hatiku lega, akhir dari jenjang sekolah menengah atas sudah kurampungkan. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan serta ijazah sebagai bukti aku telah selesai menempuh masa putih abu-abu. Semoga hasil akhir yang kudapatkan nanti bisa membuat Ibu dan Bapak bangga.
Langkahku menuju parkiran mendadak terhenti ketika mendengar seruan dari seseorang. Suaranya begitu akrab di indra pendengaranku. Refleks aku memutar tubuh pelan hingga kudapati pria dengan balutan kemeja biru tadi sudah berdiri di depanku dengan raut wajah tak terbaca. Satu langkah dia maju, sedikit mengikis jarak kami.
Tak ada kalimat yang terucap darinya, bibirnya rapat dengan tangan menyerahkan selembar kertas padaku. Sebuah brosur pondok pesantren yang ada di kecamatan lain diberikannya padaku.
"Kenapa Juragan memberikan ini padaku?"
Sebuah deheman darinya terdengar sebelum menjawab pertanyaanku.
"Kata Pakde, Bapakmu ingin putrinya menimba ilmu di pondok pesantren," jawabnya.
Tatapanku yang semula melihat brosur dalam genggaman kini beralih menatapnya. Hanya sekilas, karena ketika tatapan mata kami bertemu seketika netranya membuang pandangan ke arah lain sambil menghela napas berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...