بسم الله الرحمن الرحيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***Suara jangkrik terdengar merdu malam ini. Langit juga tampak cerah dengan taburan bintang serupa kanvas berwarna gelap dengan titik putih yang merata. Netraku menangkap itu kala pintu musholla terbuka lebar yang langsung menyuguhkan hamparan langit malam.
Aku yang baru rampung ngaji dengan Umi langsung pindah posisi ke sudut musholla, bersandar ke tembok yang dingin dengan jendela kaca terbingkai kayu kubiarkan terbuka. Memberi celah semilir angin malam masuk membelai kulit ku yang terbalut kaos hitam.
Kubuka mushaf yang ada dalam genggaman, kembali mengulang hafalan yang masih belum lancar.
Dengan kedua netra tertutup bibirku bergerak melafalkan ayat demi ayat dalam satu halaman. Kembali mengulang hingga benar-benar telah lanyah tanpa kesalahan.
"Mbak Anis," panggil Hani. Menyenggol lenganku.
"Dalem, piye? Mau pinjem kerudung lagi?" tebakku tanpa menoleh.
Hani berdecak, menggumam dengan kesal. "Lah, sampean iku lho seneng e gitu. Lagi ndak mau pinjem kerudung. Ini lho sampean di panggil Mbak Ifa ke koperasi, penting katanya."
Mendengar itu aku meringis, meminta maaf pada Hani karena sempat mengiranya akan kembali meminjam kerudung. Sebab kerudung yang bulan lalu dipinjam baru dikembalikan minggu lalu. Jujur saja, sosok yang sudah kuanggap adik sendiri itu memang hobi meminjam kerudungku dengan tenggang waktu cukup lama.
"Sekarang banget ya? Kalau nanti aja gimana?"
Tanpa persetujuan, Hani mengambil mushafku yang langsung disimpan ke rak berisi Alquran di sampingku. "Kudu sekarang, katanya urgen. Nggak ada penolakan," ujarnya sambil menarik kedua tanganku. Membawaku menuju koperasi sebelum akhirnya meninggalkanku begitu saja.
Aku menggeleng pelan, mengamati tubuh terbalut kaos warna maron itu menghilang. Beralih mengayun langkah langsung masuk koperasi. Menghampiri Mbak Ifa yang kali ini sedang mencatat sesuatu dalam buku koperasi.
"Sampean panggil saya, Mbak?"
Mbak Ifa menoleh, menepuk sisi kanan lantai dilapisi tikar tempatnya duduk yang kosong. Memintaku turut duduk di sana.
"Iya, maaf ya kalau ganggu." Aku tersenyum.
Sebuah lembaran berisi daftar belanjaan dia tunjukkan padaku. "Ini tadi aku diminta umi buat beli barang-barang buat acara lusa. Barangnya banyak dan aku butuh bantuan. Bukan cuma kamu sih yang kuminta tolong, tadi Sofiya sama Devi juga udah kuminta tolong buat besok." Kuanggukkan kepala, maklum ia meminta bantuan pada beberapa orang sebab barang yang akan dibeli banyak dengan jumlah masing-masing barang tidak sedikit.
"Memang mau ada acara apa sih Mbak di ndalem?"
"Kurang tau Nis. Umi minta tolong sama aku tanpa ngomong buat acara apa. Mau tanya ndak berani. Kurang sopan juga."
"Oh iya, kata beliau juga kalau barang yang ada di koperasi kosong sekalian dibeli juga," sambungnya sambil berdiri. Membawa dua botol pengharum pakaian ke etalase kaca di depannya.
Mbak Ifa memintaku menulis barang yang telah habis masuk dalam list belanjaan di urutan paling akhir.
"Banyak banget kan, udah berapa barang itu yang masuk daftar belanjaan?"
Kutunjukkan lembar berisi daftar belanjaan padanya. "Ini, hampir tiga puluh, Mbak."
Entah apa yang dipikirkan Mbak Ifa sampai tiba-tiba tersenyum sendiri. Beberapa kali juga sempat mengalihkan wajah sebab ada sapuan rona di pipi. "Mungkin besok diantar sama santri putra waktu cari," ucapnya. Menebak kemungkinan yang bisa saja terjadi besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
EspiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...