17🍂 Ijin dari Ibu

399 75 2
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Aku berjalan cepat menuju rumah Pakde. Merasakan hembusan angin cukup kuat, bahkan lembab sebab gerimis. Semula langit cerah lalu mendadak gelap dan suhu menjadi rendah. Langkah pelanku berubah berlari seiring air langit turun kian deras, berupaya menghindari timpaan air hujan yang dingin.

Aku mengucap salam lantas masuk ketika tiba. Tidak terdengar sahutan sebab tak ada siapapun di ruang tamu, Pakde dan Bude masih keluar mengingat angkot milik Pakde tak ada di depan rumah. Mas Damar pun kuyakin masih dalam perjalanan mengantar Juragan atau mungkin baru perjalanan pulang.

Aku memilih langsung berjalan menuju kamar tempatku tidur semalam, merebahkan tubuh di atas kasur busa dengan mata menatap langit-langit kamar, menerawang sesuatu. Kembali ucapan Juragan mengganggu pikiranku. Kali ini bukan tentang kalimat dengan makna tersirat, tapi kalimat anjuran darinya perihal keputusanku. Aku mendengus panjang.

Suara ketukan diiringi derit pintu terbuka membuatku menoleh. Terlihat Ibu berjalan menghampiriku dengan wajah tenang. Aku cukup senang karena akhir-akhir ini beliau tidak lagi kepikiran Paklek Abu yang mungkin sebentar lagi datang. Ya, Ibu juga sudah ikhlas jika memang itu terjadi. Keputusan Ibu memang bukan mendadak, hal itu sudah dipikirkan matang sebelum kejadian semalam, Juragan datang dalam kondisi babak belur.

Beberapa kali Ibu bertanya padaku kenapa terlihat kebingungan namun aku hanya tersenyum. Sepintar apapun aku menutupi, Ibu tau betul bagaimana sikapku jika memikirkan sesuatu yang membebani pikiran, ia menangkap perubahan ketika aku memilih langsung masuk ke kamar tanpa sarapan. Memang sebelum bertemu Juragan aku menunda makan, sebab ingin segera memberikan titipan Bude serta melihat kondisinya.

"Bu, apa boleh Anis mondok di pesantren?" Tanyaku lirih, mengangsurkan brosur yang diberikan Juragan beberapa hari lalu.

Terlihat Ibu membacanya lamat, meletakkan di ranjang lalu memberikan senyuman padaku kemudian mengusap pundakku sekilas. "Kamu ingin mondok, Nduk?"

Aku terdiam. Tiba-tiba sedikit kurang nyaman kembali menyambung obrolan karena sebuah hal yang mendadak menganggu pikiran.

"Kenapa?"

Aku masih enggan menjawab. Tapi, kedua tanganku malah sudah meremas tangan Ibu.

"Kamu tidak mau berpisah dari Ibu?" Tebaknya tetap sasaran. Aku menunduk dalam, melepaskan genggaman.

Bukan enggan memberitahu sejak awal mengenai brosur itu, aku hanya belum siap jika berpisah dengan Ibu. Apalagi meninggalkannya seorang diri dengan kondisi tubuh beberapa hari ini baru benar-benar pulih.

"Aku tidak tega meninggalkan Ibu sendirian. Jika ada kesulitan, Ibu tidak ada yang membantu," balasku akhirnya. Terdengar seperti alibi tapi sebenarnya bukan.

Ibu mengusap pipiku. "Insyaallah ada yang bakal bantu Ibu, Nduk. Jangan khawatir." Kembali Ibu tersenyum. "Bapakmu dulu pernah punya keinginan anaknya nyantri. Dia mau anaknya bisa menjadi seorang penjaga Alquran dan memiliki pemahaman agama jauh lebih baik darinya. Tapi, sebelum itu terlaksana beliau lebih dulu pergi," ujar Ibu terdengar terbata di akhir kalimat. Mengusap sudut matanya yang tiba-tiba berair dengan jari sebelum merapatkan tubuh kami.

"Sewaktu kamu masih bayi, Bapakmu sudah menyisihkan penghasilannya untuk keperluan kamu mondok." Ibu menjeda ucapannya, "tapi, pada akhirnya harus dipakai untuk pengobatan Bapakmu. Beliau sedih karena itu, lalu Ibu bilang insyaallah akan memondokan kamu suatu saat nanti. Belum sempat Bapakmu melihat itu, beliau sudah pergi. Mungkin inilah waktunya kamu tholabul ilm lagi, Nduk. Biar Bapakmu disana bahagia melihat putrinya nyantri." Luruhan air mata dari netra Ibu mengalir kian deras.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang