8🍂 Sang lintah darat

711 86 8
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Terlihat Juragan telah berhadapan dengan Paklek, segera aku dan Ibu berjalan cepat menuju dua sosok dengan mata bersitatap itu. Menempatkan posisi di samping Juragan yang menoleh sesaat ketika menyadari keberadaan kami setelahnya kembali memusatkan netra pada pria di depannya.

"Wah, ada ponakan Paklek juga. Sudah besar, ya. Terakhir lihat kamu waktu masih umur enam bulan. Apa kabar, Nduk cantik?" Hening. Tak ada balasan apapun dariku. Malah menatap lekat sosok pria berwarna rambut hitam dengan sisipan warna putih.

Tampak banyak perubahan darinya. Terakhir bertemu ketika usiaku baru menginjak sepuluh tahun, itu pun tanpa sepengetahuan Paklek. Mengulang memori lalu yang tak enak ketika Ia datang bersama beberapa pria bertubuh kekar mengobrak-abrik gubuk kecil tempat kami berdiri saat ini sembari berteriak memanggil Ibu. Aku yang saat itu tengah bermain di sawah pinggir rumah seketika bersembunyi di balik jajaran pohon pisang. Mengintip tindakan tidak terpujinya dengan tubuh gemetar. Berlari usai beberapa sosok itu pergi, dengan tangis menemui Ibu dan menceritakan hal itu. Saat itulah bagiku awal pertemuanku dengan Paklek. Kejadian itu lekat dalam benak hingga rasa benci padanya tertanam hingga kini.

"Ada urusan apa kamu kesini? Semua sudah selesai, Abu." Ibu membalas dengan menggenggam erat tanganku. Menatap tajam pada pria yang tengah mengulas senyum separuh.

"Belum semua Mbakyu, rumah njenengan niki belum di urus kepemilikannya," ujarnya. Mengangkat map kertas warna merah di tangannya.

"Semua sudah selesai, Abu! Rumah ini milik kami. Sah di mata hukum. Jangan mengingkarinya." Dengan napas memburu Ibu membalas. Menarik map tadi lalu merobeknya. Dihamburkan begitu saja robekan itu hingga berserak.

Paklek menggeleng pelan, menatap dengan seringai tipis. "Njenengan lupa, hutang yang lalu itu masih belum sepenuhnya lunas. Kalau mengandalkan gaji sebagai petani, mboten cukup. Hanya dengan memberikan rumah ini, maka semua hutang Mbakyu akan kuanggap lunas," balas Paklek lirih namun begitu nyelekit.

Terlihat Ibu mengatur napas disela mengepalkan tangannya. Hendak mendekat tapi ditahan oleh Juragan. "Berapa kekurangannya?" tanya Juragan.

Paklek tertawa, menatap Juragan dari bawah ke atas seolah menilai. "Punya apa kamu, Nang? Mboten usah nderek urusanku," ujarnya begitu halus seakan tengah berbicara pada anaknya.

Mungkin jika orang lain yang mendengar cara bertutur kata Paklek yang begitu sopan bahkan dengan bahasa Jawa kromo, tidak akan ada yang berpikir bahwa sosok dengan tutur kata halus dan sopan itu begitu maruk pada harta. Bahkan pada saudaranya sendiri pun ia tak segan-segan melakukan apapun untuk mendapat apa yang dinginkan.

"Berapa kekurangannya?" Kembali Juragan mengulang pertanyaannya. Seketika meredam tawa Paklek.

"Lima puluh juta. Sampean gadah?"

"Kapan dan di mana saya harus memberikannya?" Paklek menatap Juaragan tanpa kedip. Seakan tak percaya dengan balasan Juragan yang dengan tegas menanyakan waktu dan di mana ia harus membayarnya pada Paklek.

Sampai Paklek mengangguk lalu mengulas senyum simpul. Mengatakan bahwa Juragan harus menemuinya besok pagi tepat pukul sepuluh di samping kantor Kades, setelah itu Paklek pergi dari hadapan kami karena apa yang diinginkan sudah berhasil diperoleh.

Mata ibu berkaca-kaca menatap Juragan. Menggenggam tangan juragan sembari mengucapkan terimakasih dengan berlinang air mata yang sebelumnya sempat tertahan. Bahkan terdengar isakan tangis lirih pula.

Hatiku mencelos, memejamkan mata guna menahan air mata yang telah menumpuk pada netra. Menghalau tangisan. Ya Allah, ini ujian.

****
"Bu, sebenarnya kita punya hutang berapa dengan Paklek? Kenapa ketika ibu telah membayarnya Paklek tetap mengatakan belum lunas?"

Ibu mendesah berat. "Untuk berobat Bapakmu dulu waktu kamu masih umur dua tahun, Nduk. Dulu waktu Bapakmu sakit usus buntu dan harus operasi, kami hanya punya sisa uang hasil jual motor untuk biaya rawat inap bapakmu saat sakit typus dan itu pun habis. Jadi kami tidak ada uangnya hingga memutuskan meminjam pada Paklek mu. Awalnya Ibu tidak berniat meminjam padanya, tapi karena melihat kondisi Bapakmu membuat Ibu tak tega dan tak ada pilihan lain. Paklek mu orang paling kaya di desa ini waktu itu," balas Ibu dengan suara parau. Menghentikan kalimatnya, menyeka air mata yang tanpa sadar turun.

Mataku pun ikut memanas mendengar Ibu bercerita dengan suara parau. Menarik Ibu dalam pelukan. "Tidak usah di sambung jika Ibu tidak kuat bercerita." Kurasakan Ibu menggeleng pelan, mengurai perlahan pelukan.

Ibu menarik napas dalam dengan menerbitkan senyum tipis pula, seolah sudah baik-baik saja. "Ibu tidak tahu jika Paklek mu itu rentenir. Saat Ibu membayar hutang dengan menjual perhiasan tinggalan orang tua ibu yang saat itu baru saja diberikan Pakde Rojab, sudah dihitung cukup tapi saat itu masih saja ia mengatakan kurang setelah Ibu membayar pada Bulek mu yang mengatakan sudah pas."

Aku mengangguk, paham betul perbedaan dari Bulek dan Paklek. Mereka seperti dua kubu yang berlawanan. Bulek orang yang sangat baik, bahkan sebelum terjadi kecelakaan beberapa tahun lalu yang merenggut nyawanya, Bulek sempat menemuiku, memintaku untuk menyampaikan maaf atas perbuatan Paklek pada kami selama ini.

Setelah Ibu mengatakan itu, suasana seketika hening. Malah secara tiba-tiba menarikku dalam pelukan erat sembari berkata lirih, "cukup Bapakmu saja yang pergi, kamu jangan ya, Nduk. Kamu harta Ibu yang paling berharga, Ibu akan lakukan apapun agar kamu tetap bersama Ibu, bahkan dari Paklek mu sekalipun."

****
Dengan ujung hijab terbang, sosok berhijab navy mendorong kursi rodanya menuju sebuah rak dengan jajaran buku tebal. Membelakangi posisi jendela yang terbuka lebar. Berusaha meraih salah satu buku di rak cukup tinggi.

"Minta tolong Mas yang duduk di kursi, Dek. Mas bisa mengambilkan," ujar sosok di depannya sambil menyerahkan sebuah buku dengan sampul merah pada sosok yang duduk di atas kursi roda.

"Mas Zaki kapan pulangnya? Kok Kia ndak tahu."

Tangan Zaki meraih bagian belakang kursi roda sang adik. Mendorong menuju depan jendela yang terbuka. "Baru saja, langsung ke sini ketika Umi mengatakan kamu di perpustakaan ndalem, Dek. Melihat kamu kesulitan mengambil buku waktu Mas duduk di kursi itu." Zaki menunjuk kursi yang berada di sudut perpustakaan.

Lembaran demi lembaran buku tebal itu terbuka, membuat mata Zakia fokus pada jajaran kalimat di sana, hingga sebuah ucapan darinya meluncur membuat Zaki membeku.

"Menikahlah, Mas. Jangan terus merasa bersalah denganku karena kondisi ini. Aku ridho dengan takdir Allah, Mas."

Tak ada jawaban dari Zaki, malah membalas dengan mendekap erat sosok berhijab yang tak lain adalah adik kembarannya.

🍂🍂🍂

Assalamualaikum, ketemu di Bulan Dzulhijjah.

Jangan lupa jadikan Alquran bacaan yang paling utama

4 Dzulhijjah
1441 H

Semarang
25 Juli 2020

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang