21🍂 Penyesalan

420 89 12
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Jangan perlakukanku layaknya ratu. Aku tau posisiku. Aku takut terhanyut, jika ternyata sikapmu sebatas rasa iba tanpa cinta.
_____________

Juragan melangkah pelan keluar dari ruangan pengap tadi. Mengabaikan raungan penyesalan dari Abu. Itulah akibat yang diterima oleh pria tua itu meski sangat jauh dari kata impas. Semoga menjadi pelajaran berharga baginya.

Keserakahan menghancurkannya. Dia tersadar ketika menemukan alasan napasnya masih ada lantaran seseorang yang menjadi korbannya. Kata maaf tidak berguna, sebab sosok itu sudah lama tiada.

Juragan dengan luka di beberapa bagian tubuh berdiri di emperan gudang, tangannya bertumpu pada tembok. Berulang mengambil napas sambil berusaha kembali mengatur amarah yang barusan dimuntahkan. Ia mendesis pelan ketika luka di kakinya terasa perih. Matanya memandang ke bagian bawah tubuhnya itu, ternyata penutup luka kakinya menghilang. Pantas saja tadi ketika bertarung, lawan berusaha memukul bagian itu. Namun anehnya baru sekarang ia merasakan sakit luar biasa.

Dengan ringisan, tangannya meraih gawai dalam saku baju koko. Berniat menghubungi seseorang. "Tolong ke sini sekarang, jangan bilang sama Umi," ucapannya pada sang lawan bicara dalam panggilan.

Suara bising motor membuat Juragan mengalihkan perhatian yang semula pada gawai. Menghampiri sosok berhelm itu kemudian langsung membonceng di belakangnya. "Umi sempat bertanya padamu?" Sosok itu mengangguk. "Kamu tidak mengatakan secara gamblang, kan?"

"Mboten, Gus. Semua aman." Juragan menepuk pundaknya, pertanda meminta sosok itu memutar gas. Segera meninggalkan tempat ini.

***
Mataku kembali beredar, menyapu pandangan mencari Ibu tapi tetap tidak kutemukan. Kemana beliau?

"Mas, Ibuku?"

"Bulek barusan pulang, kasihan dari semalam beliau belum istirahat sama sekali. Bahkan selama dua hari Bulek menunggumu yang belum sadarkan diri. Sekarang giliran Mas yang gantikan," balasnya.

"Ada apa, Nok? Ada yang sakit?" tanyanya dengan raut khawatir. Aku menggeleng lemah dengan menunduk sebab pandanganku berkabut.

Mataku benar-benar memanas, pelupuknya kian berat hingga embun di sana akhirnya turun. Tangisku tak terbendung lagi, tersedan-sedan hingga tubuhku bergetar. Rasa sakit di sekujur badan tidak berarti, yang lebih sakit adalah akibat perlakuan Paklek yang begitu tega padaku. Mudah sekali menyodorkanku pada pria asing. Bahkan dengan gampang memberikan ijin pria itu menikah denganku. Apa aku hanya dianggap layaknya barang?

Mas Damar yang berdiri di samping langsung mengusap punggungku pelan. Membiarkan tangisku berlanjut tanpa mengatakan apapun, mungkin memberi ruang menuntaskan rasa tak karuan dalam hati setelah kejadian tak mengenakkan yang kualami.

"Kenapa Paklek jahat padaku, Mas? Sebenarnya salahku apa? Jika dia ingin harta aku sudah memberikannya bahkan jikapun harus tinggal di pinggir jalan tak apa asalkan jangan lagi mengganggu keluargaku. Tapi ketika semua sudah kuberikan, kenapa masih saja dia tidak berhenti? Dia berlaku semena-mena, menyodorkanku pada pria asing dengan mudahnya. Apa aku ini hanya dianggap sebuah mainan? Apa aku ini layak diperlakukan seperti itu? Apa aku ini wanita rendahan hingga begitu enteng diserahkan pada sembarang orang?" ujarku disela isakan. Memukul dadaku kencang berulang-ulang sampai akhirnya ditahan oleh Mas Damar.

"Tidak, Nok! Kamu itu berlian, kamu itu mutiara yang dimiliki Paklek Utsman. Kamu itu harta berharga Bulek Namira. Kamu adalah buah cinta yang begitu lama mereka nantikan hingga kehadiranmu membuat mereka sangat bahagia. Jangan pernah menganggap rendah dirimu sendiri," balas Mas Damar. Membuatku menatap kedua netranya mencari kebenaran. Semoga bukan hanya sekedar menghibur kerapuhanku saja.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang