الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمدJADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***
Malam ini selesai ngaji aku tiba-tiba diminta ke ndalem oleh salah satu santri ndalem yang piket. Bukan oleh juragan, tapi Umi yang memanggilku. Pasti beliau memanggilku karena persoalanku dan Juragan.
Sepanjang jalan menuju ndalem jantungku berdebar, langkah yang semula teratur tiba-tiba berhenti tepat di depan pintu ndalem. Aku menunduk, mengambil napas panjang sebelum menyambung langkah.
Dari kejauhan terlihat Umi dan Abah yang duduk di sofa ruang tamu. Langkah kakiku berganti dengan lutut yang bergesekan dengan lantai begitu sampai, berjalan menghampiri Umi tanpa melihat keberadaan Juragan.
Namun, sebelum sampai dihadapan keduanya, Umi lebih dulu mendekatiku. Memegang pundakku untuk berdiri lalu menuntunku duduk di sofa panjang sebelahnya.
"Gimana kabarnya, Nduk?" tanya Umi sambil mengusap punggung tanganku di pangkuan.
"Alhamdulillah, sae, Umi," balasku lirih.
Kurasakan remasan lembut di tanganku oleh Umi. "Sebelumnya Umi minta maaf, Nduk. Maaf kalau sikap Umi padamu dan keluarga kurang baik beberapa waktu lalu." Aku menunduk sambil mengangguk pelan.
"Bukan Umi menolak kehadiranmu sebagai istri putra Umi. Rasanya semua terasa mendadak hingga membuat terkejut, apalagi Zaki menyimpan rahasia ini lama dari Umi. Itu yang membuat Umi marah. Ditambah lagi ketakutan Umi jika pernikahan ini bisa membuatmu merasa tak nyaman, terbebani dan dikekang, apalagi kamu masih sangat muda," sambungnya.
Aku masih diam tanpa berani mengangkat wajah. Mencerna setiap hal yang dikatakan Umi dan semuanya benar. Perihal usia tentu dipertimbangkan, apalagi ketakutan Umi juga berdasar.
"Maafkan atas semua sikap kami, Nduk." Kali ini kalimat diucapkan Umi dengan lirih disertai isakan pelan dan kedua tangan yang merangkum tubuhku dalam pelukan.
Abah yang duduk tak jauh dari kami tersenyum, mengangguk singkat ketika aku memandang beliau. Anggukan yang seolah sebagai isyarat untuk menyingkirkan keraguan, ketakutan dan rasa tak percayaku karena semuanya sudah harus dihilangkan. Penerimaan Umi benar kudapatkan.
Perlahan tanganku tersangkat, membalas pelukan Umi disertai bulir air yang meluncur dari kedua netraku. Hatiku lega luar biasa.
"Mulai sekarang anggap Umi dan Abah kedua orang tuamu, bukan hanya pengasuh pondok tempatmu menimba ilmu ya, Nduk. Pokoknya jangan sungkan," ucap Umi sambil mengurai pelukan kami.
Senyum simpul terukir di bibir Umi, kedua tangannya bergerak menyentuh wajahku, mengusap netraku yang basah dengan ibu jarinya. "Mpun, jangan nangis lagi. Menantu Umi yang cantik ini ndak boleh sedih-sedih."
Umi memintaku mendekat pada Abah, lebih tepatnya meminta doa dan restu pada beliau serta menjabat tangan beliau untuk pertama kalinya.
Abah tersenyum, menepuk sisi kosong sofa sebelahnya sebagai tanda memintaku duduk di sana. "Barokallah, seng sabar ngadepin Zaki, dia sering irit ngomong, Nduk. Mpun, sana temui suamimu. Dia sudah nunggu kamu sambil main sama Ara di ruang tengah," Abah berkata sambil mengusap puncak kepalaku yang dibalut kerudung.
Sesuai perintah Abah aku berjalan menuju ruang tengah. Menghampiri Juragan yang katanya sudah menungguku. Suara tawa mulai terdengar, pekikan dari Ning Ara kian jelas ketika aku sampai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...