42. Masalah Keluarga

1.7K 189 3
                                    

Tujuh belas tahun kemudian......








"MAMI!!" Teriakan seorang gadis memenuhi seluruh penjuru rumah itu. Alicia menghela nafasnya, kedua anaknya pasti bertengkar lagi.

"SUBUUN!! BALIKIN JEPITAN GUE!!" Teriakan itu kembali terdengar. Dan terdengar langkah dua orang yang sedang menuruni tangga dengan terburu-buru.

"Balikin dulu jaket gue" ucap si anak laki-laki. Alicia memijat kepalanya, pusing melihat anaknya yang tidak melewatkan satu hari pun untuk tidak bertengkar.

"Iya, iya. Sini, mana jepitan gue?" Ucap si anak perempuan, sedikit malas.

"Mana jaket gue? Se.ka.rang" ucap si anak laki-laki dengan tekanan di akhir kalimatnya.

"Lagi di laundry, ya tuhaaan!!" Anak lelaki itu tersenyum senang, lalu melempar jepitan itu ke adik kembarnya. Ia pun duduk di depan sang ibu, lalu menyantap roti bakar yang sudah disiapkan oleh wanita itu.

Kemudian, Jaeden datang dengan pakaian rapih. Ia menyerahkan sebuah dasi pada Alicia, meminta untuk dipakaikan.

"Kenapa sih? Pagi-pagi udah ribut aja" ucap Jaeden. Alicia menggidikan kedua bahunya.

"Mi, nanti Soobin pulang telat, ya" ucap Soobin --anak laki-laki dari Jaeden dan Alicia, sembari meneguk susu putihnya. Anak itu sekarang sudah menjelma menjadi pemuda bertubuh tiang. Bahkan tingginya mengalahkan Jaeden yang cukup tinggi daripada bapak-bapak seusianya.

"Mau ngapain?" Si kepala keluarga bertanya. Lelaki itu menyantap sarapannya sebelum pergi ke kantor.

"Kerja kelompok" ucap Soobin santai. Somi menyipitkan matanya.

"Bohong, Pi. Dia pasti pergi ke area balap lagi sama temennya" ucap Somi, membongkar rahasia terbesar si Abang.

"Apasih, anak kecil diem aja. Orang beneran mau kerja kelompok 'kok" ucap Soobin tenang, meskipun jantungnya berdetak tidak karuan dan mengumpati adik kembarnya. Duh, bisa gagal rencana nonton pertandingan balap hari ini.

Somi merengut, tidak suka setiap Soobin memanggilnya dengan sebutan anak kecil. Memang sih, Soobin itu lahir lebih dulu darinya. Tapi mereka hanya berbeda lima belas menit, bukan lima tahun apalagi lima belas tahun.

"Kamu nggak boleh gitu sama Kakak kamu, Somi. Masa orang mau belajar dituduh ke area balapan" ucap Jaeden. Soobin tersenyum senang ketika melihat sang ayah membelanya.

"Belain aja terus si Subun. Papi nggak pernah percaya omongan Somi!!"

Somi kemudian mendorong kasar kursinya, lalu pergi ke kamarnya. Padahal sebentar lagi bel sekolah berbunyi, dan gadis itu sudah rapih memakai seragamnya. Tapi ia tidak peduli, sudah terlalu lelah diperlakukan berbeda oleh sang ayah.

"Lagi. Kamu ngelakuin kesalahan yang sama, Jaeden" Alicia menatap Jaeden sekilas, kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar Somi.

"Pi, maaf. Karena Soobin, Somi sama Mami marah ke Papi" ucap Soobin. Jaeden menggeleng.

"Nggak usah dipikirin. Ini salah Papi juga 'kok selalu bersikap nggak adil ke Somi" Jaeden bangkit dari duduknya, lalu mengusak rambut Soobin sebentar.

"Nanti tolong bilangin ke gurunya Somi kalo Somi sakit, ya" Soobin hanya mengangguk sembari menatap sendu tubuh tegap ayahnya yang berjalan menuju pintu keluar.

Soobin melihat mobil hitam yang biasa dipakai ayahnya untuk pergi ke kantor keluar melewati gerbang besar rumahnya.

"Psssttt, Subun..." Soobin mendongakkan kepalanya, lalu melihat Somi beserta sang ibu sedang berpegangan pada pembatas tangga.

"Nama gue Soobin" Soobin memutar bola matanya malas. Sedari kecil, Somi selalu memanggilnya dengan sebutan 'Subun'.

"Percuma Mami ngasih nama Soobin biar mirip Soobin TXT, eh malah dipanggil Subun sama Omi" ucap Alicia. Somi menyengir dan membuat huruf 'V' dengan kedua jarinya.

"Ehehe, maaf Mi"

"Gimana? Papi udah pergi?" Tanya Somi. Soobin memberikan jempolnya.

"Aman"

"Ya udah, ayo" Alicia dan Somi menuruni tangga. Lalu meluncur ke suatu tempat.








~~~~~~~~








Jaeden memijat pangkal hidungnya pusing. Rapat sudah berakhir satu jam yang lalu, dan ia sedikit membuat kekacauan disana. Tubuhnya memang berada di ruang rapat, namun kepalanya terus memikirkan Alicia, Soobin, dan Somi.

Berkali-kali ia mendapat teguran dari rekan kerjanya karena tertangkap basah sedang melamun. Setelah menghela nafas beberapa kali, akhirnya Jaeden memutuskan untuk meminta rekan kerjanya mengirimkan rencana kerjasama mereka lewat email. Lalu meninggalkan ruangan rapat itu begitu saja dan membuat sekretarisnya kelimpungan menenangkan mereka-mereka yang tidak terima dengan sikap Jaeden.

"Boss..." Jung Hoseok, seorang pria keturunan Korea-Indonesia yang menjabat sebagai sekretaris Jaeden, membawakan satu gelas ice americano. Ia menaruh gelas es kopi itu di meja sang tuan.

"Jangan kebiasaan, Jae. Kamu yang kabur, saya yang kelimpungan nyari alasan buat mereka tetep mau kerjasama sama perusahaan kita" ucap Hoseok, meninggalkan setengah rasa hormatnya pada bos-nya yang sedikit tidak tahu diri itu. Ia berada dua tahun diatas Jaeden.

"Lagi mikirin apa sih? Double S lagi?" Jaeden hanya mengangguk sembari menyedot es kopinya.

"Ditambah Alicia" Hoseok menggeleng, sudah terlampau sering melihat Jaeden tidak fokus ketika rapat. Dan masalahnya hanya seputar istri, anak, dan keluarganya.

"Masalah apa lagi kali ini?" Tanya Hoseok, tidak ada nada paksaan dari kalimatnya.

Jaeden menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya. "Saya juga bingung mau cerita dari mana, Bang. Tapi ya intinya, Soobin minta izin buat pulang terlambat karena pengen kerja kelompok, tapi Somi bilang Soobin bohong. Somi bilang kalo Soobin mau ke area balapan, nggak tau dia mau ngapain kalo disana,"

"Terus saya bilang ke Somi kalo nggak boleh nuduh Soobin sembarangan kayak gitu. Tapi dia marah terus bilang saya nggak pernah percaya sama omongannya dan terus ngebela Soobin. Alicia juga, dia bilang saya ngelakuin kesalahan yang sama. Padahal saya nggak berniat buat beda-bedain Soobin dan Somi" cerita Jaeden panjang lebar. Hoseok sudah bekerja dengannya selama puluhan tahun, tidak membuatnya ragu untuk menceritakan semua masalah keluarganya.

"Biasanya, mereka begini, nggak?" Tanya Hoseok, setelah mendengar seluruh cerita Jaeden.

"Nggak. Makanya saya bingung pas Alicia tiba-tiba ikut marah"

Hoseok pun tersenyum simpul, "ini hari spesial kalian, mungkin. Ya saya nggak tau" setelahnya, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu keluar dari ruangan bos-nya.

"Hah? Hari spesial?"





Jaeden ngebug.








~~~~~~~
Bersambung~

Hadeh, gak lakik gak binik otaknya ngebug mulu🚮

-Ra🐣

Mantan || Lizkook [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang