“Nyatanya, kamu bukan ingin mengakhiri hidup, tetapi ingin mengakhiri penderitaan dalam hidup.”
•°•°•°•°•Serambi Masjid•°•°•°•°•
-
-
-Manik mata Fillah terpaku pada tubuh Ilana yang terbaring lemas di atas kasur. Perempuan itu tiba-tiba pingsan di pelukannya saat mereka masih di pantai. Sudah hampir tiga jam masih belum siuman dengan keadaan demam. Perempuan itu terlalu lelah, kesehatannya menurun dan daya tahan tubuhnya juga melemah.
Sudah lama Fillah menyadari bahwa ada yang salah dari Ilana. Bagaimana Ilana yang setiap malam sulit untuk tidur. Bagaimana Ilana yang sering cemas akan hal sepele dan tidak terlalu suka berbaur dengan banyak orang kecuali orang-orang terdekatnya. Dan bagaimana Ilana selalu menyembunyikan masalahnya sendiri, seperti masalah teror dan kecurangan dari temannya.
Fillah juga yakin, saat di danau Ilana memang berniat untuk mengakhiri hidupnya. Ia mendengar Ilana berbicara sendiri dengan suara yang parau. Kedua mata perempuan itu menunjukkan begitu banyak keputusasaan dan secercah harapan.
Meskipun Ilana dikenal sebagai orang yang selalu menebar senyum, pandai, dan terlihat baik-baik saja seperti tidak memiliki beban. Namun, tak ada yang tahu sisi sebenarnya dari perempuan itu. Kondisi psikis seseorang tidak seperti kenyataan yang tampak pada diri kita. Terkadang, apa yang disembunyikan oleh hati, akan diperlihatkan oleh sikap.
Sayangnya, orang yang mengalami masalah mental tidak mau mengakuinya dan akan tetap mengatakan bahwa mereka baik-baik saja.
"Kiya, kamu pernah janji sama saya untuk nggak menyembunyikan masalah kamu. Tapi, kamu masih berbohong. Kamu nggak bilang kalau kamu sakit," lirih Fillah dengan menampakkan wajah sendunya.
Tarikan napas terdengar dari laki-laki itu. Fillah beralih pada sebuah baskom di atas meja. Ia kemudian mengambil handuk dari dalam baskom yang sudah terisi air hangat, memerasnya, lalu meletakan di dahi Ilana. Berbagai doa juga ia panjatkan, berharap demam Ilana segera turun.
Perlahan, tangan Ilana digenggamnya. Mencium lembut telapak yang terasa dingin itu, lalu mengelusnya. Selanjutnya, terdengar suara ketukan pintu yang membuat Fillah menolehkan kepala.
"Bang Cakra."
Tersenyum, Cakra melangkahkan kaki memasuki kamar adiknya. Fillah di sana langsung melepaskan genggaman tangan Ilana.
"Gimana keadaan Ilana?" tanya Cakra.
"Demamnya masih belum turun. Kalau dalam dua puluh empat jam belum turun juga, kita bawa ke rumah sakit," jawab Fillah, membuat kakak iparnya menghela napas lelah.
Dengan rasa khawatir yang semakin bertambah, Cakra mengelus lembut kepala Ilana. "Kamu jangan kayak gini terus, ya, Dek. Mas nggak tega lihat kamu terbaring terus tanpa membuka mata. Ayo cepat sadar," ucapnya yang ia sendiri tahu bahwa Ilana tidak akan menyahut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serambi Masjid
Teen Fiction[Romance - Spiritual] Dunia Ilana itu hanya dipenuhi luka, derita, dan air mata. Terlebih, setelah mamanya tiada, rasa sakit yang Ilana rasakan kian luar biasa. Hingga Ilana lupa bagaimana cara untuk tertawa. Kepahitan hidup yang semakin menjadi-ja...