[Romance - Spiritual]
Dunia Ilana itu hanya dipenuhi luka, derita, dan air mata. Terlebih, setelah mamanya tiada, rasa sakit yang Ilana rasakan kian luar biasa. Hingga Ilana lupa bagaimana cara untuk tertawa.
Kepahitan hidup yang semakin menjadi-ja...
"Cinta itu melibatkan dua belah pihak dan disertai kejujuran dan amanah. Jika tidak, maka cinta hanyalah khayalan."
•°•°•°•°•Serambi Masjid•°•°•°•°•
- - -
"Aku suka kamu, Sahef."
Laki-laki itu mematung seketika. Meskipun tak memandang langsung objek di depannya, tapi ia yakin seseorang yang baru saja mengatakan kalimat tersebut tengah memandangnya.
"Tyas..."
"Sahef, kira-kira sudah berapa lama kita bersahabat?"
Laki-laki itu sempat berpikir sejenak, sebelum mulutnya terbuka dan berkata, "Kurang lebih delapan belas tahun."
Tyas mengukir senyum di wajahnya. "Sudah lama, 'kan?" Perempuan itu mengedarkan pandang ke taman di mana mereka berada. Takutnya, ada santri atau santriwati yang memergokinya sedang bersama Gus mereka, Fillah.
Ia lantas melanjutkan, "Mustahil nggak ada cinta dalam persahabatan antara laki-laki dan perempuan."
Fillah bergeming. Bukankah seharusnya yang menyatakan cinta padanya adalah Ilana yang notabennya adalah istrinya? Apalagi mereka masing-masing sudah memutuskan untuk menghadirkan rasa cinta. Namun apa yang ia dapat? Justru pengakuan cinta dari sahabat kecilnya.
Fillah tidak bisa membenarkan atau menyalahkan perkataan yang terlontar dari sahabatnya itu. Sebab, memang mustahil bagi sepasang sahabat jika salah satunya tidak ada rasa lebih. Namun nyatanya, Fillah tidak memiliki rasa apa pun kepada Tyas. Ia hanya menganggap Tyas sebagai sahabat sekaligus adiknya.
"Aku sudah punya istri, Tyas."
Kalimat yang keluar dari mulut Tyas, membuat Fillah yang semula menunduk dengan perasaan cemas, kini menatap perempuan di depannya itu . "Tenang saja, aku nggak bermaksud merusak rumah tangga kamu dengan Ilana. Aku cuma pengin memberitahu kamu tentang perasaanku, karena aku pikir, kamu harus tahu."
"Tapi, aku nggak ada rasa ke kamu."
Tyas tidak kaget mendengarnya. Ia sudah menduga dari sebelumnya jika laki-laki itu akan menjawab demikian.
"Aku tahu. Dan aku sadar ini semua salahku yang sudah memutuskan untuk mencintai kamu. Seharusnya dari dulu aku hilangkan semua rasa ini yang semakin hari semakin bertambah. Aku juga sadar, karena pengakuanku ini mungkin akan membuat persahabatan kita jadi renggang." Suaranya menjadi bergetar. Tyas berusaha menahan air matanya agar tak luruh.