E m p a t p u l u h

4.8K 297 1
                                    

Baru Menyesal
_______________________

Sachi tidak bisa tertidur dan terus memikirkan Kara. Entah bagaimana nasib anak itu sekarang.

Darah yang mengalir di kedua hidung Kara terus menghantui pikiran Sachi.

Sachi bangun lalu duduk di pinggiran kasurnya, menyalakan lampu kamarnya lalu berjala keluar.

Sachi menatap pintu kamar di depannya. Kamarnya dan Kara saling berhadapan.

Setiap penyiksaan yang Kara dapatkan dari Abraham setiap malam selalu Sachi dengar.

Terkadang Sachi juga merasa iba, akan tetapi ia terlalu gengsi menunjukkannya.

Sachi ingin mengetuk pintu kamar Kara, akan tetapi tangannya tertahan di udara.

Sachi menggigit ujung kukunya dan nampak ragu.

Sampai Sachi menghela nafasnya kasar dan memegang gagang pintu kamar Kara.

Sachi membukanya perlahan, ia melihat Kara yang tertidur dengan darah yang masih mengucur di hidungnya.

Dengan perlahan, Sachi menghampiri Kara yang masih menutup kedua matanya.

"Ka, jangan tidur disini."

Tidak ada pergerakan dari Kara, "Ka.." panggil Sachi.

"Kara?"

"Kara?"

Sachi tertegun, ia lalu memeriksa denyut nadi Kara dan masih berdetak akan tetapi sangat lemah.

"AYAH."

Tidak lama Abraham dan Moza datang dan memasuki kamar Kara.

"Kenapa sayang?" Tanya Abraham.

"Kara, Yah. Kara tidak bergerak. Sachi panggil tapi Kara nggak mau bangun."

"Mungkin Kara tidur sayang, Sachi juga tidur ya?"

Sachi menggelengkan kepalanya, "tidak Yah. Kara, detak nadinya lemah. Darah juga keluar dari hidung Kara."

"APA PEDULIMU SACHI, BIARKAN DIA MATI."

Sachi langsung mendorong Abraham dan menjauhkan dirinya, "Ayah jahat. Ayah membiarkan Kara mati, dia juga anak Ayah."

"Tapi dia sudah membunuh ibumu Sachi," ucap Abraham emosi.

"Kara tidak membunuh Bunda, kematian Bunda bukanlah kesalahan Kara. Kara itu anak Ayah, dia dilahirkan oleh Bunda. Kara hadir karena keinginan Ayah juga."

Abraham terdiam, selama ini dia sudah sangat membenci Kara.

"Kara tidak bersalah Ayah, kita semua yang salah. Kenapa kita tidak memperlakukan Kara dengan baik. Kara adalah anak yang istimewa, dia adalah bukti perjuangan Bunda. Menyakiti Kara sama saja kita sudah menyakiti Bunda."

Abraham tahu, kematian Cahaya juga karena kesalahannya.

Cahaya ingin melahirkan Kara secara normal padahal kondisi Cahaya sangatlah lemah dan juga ukuran panggul Cahaya yang sempit.

Karena kekeras kepalaan Cahaya, Abraham juga ikut mengiyakan. Pada saat berhasil melahirkan Kara, Cahaya mengalami pendarahan yang hebat.

Kondisinya semakin melemah, 3 jam setelah kelahiran Kara Cahaya menghembuskan nafas terakhirnya.

"Ayah terlalu buta akan kesedihan Kara, Ayah hanya menambah lukanya. Apa Ayah pernah bertanya bagaimana kondisi Kara?"

Abraham terdiam, apa yang sudah ia lakukan. Titipan terakhir Cahaya sudah ia perlakukan seperti binatang.

𝓐𝓷𝓽𝓪𝓰𝓸𝓷𝓲𝓼 𝓕𝓪𝓶𝓲𝓵𝔂 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang