Part 1. Hijau, warna Semesta

4.9K 244 44
                                    


Jogja 2019


Binar terang manik hitam itu menyorot langit yang telah gelap. Bibir kemerahan yang merekah terlihat bergerak-gerak menghitung banyak bintang di atas sana.

"Dua belas ... Tiga belas ... Empat belas ... Eh itu tadi udah belum ya?"

Telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah benda nun jauh di sana yang sedari tadi gagal dia hitung. Sosok di samping sang gadis terbahak.

"Arin, Arin. Mau sampai kapan kamu ngitungin bintang satu-satu?"

Gadis itu tetap berusaha fokus.

"Diem dulu, Bang. Aku penasaran sama jumlah bintang malam ini."

Pria itu menoyor kepala Arin.

"Kamu berani nyuruh aku diem? Liat, mereka, yang di sana saja tidak ada yang berani nyuruh aku."

Arin meringis.

"Bodo amat. Aku bukan bawahan Abang. Mau Abang besok udah berpangkat Mayor, aku juga bakal tetep nyuruh-nyuruh Abang."

Pria tadi terbahak. "Arin ... Arin. Masih saja kamu kayak gini. Aku pikir  setelah lulus SMA tingkahmu lebih dewasa."

Gadis tadi menoleh. "Dewasa? Memangnya dewasa itu yang seperti apa?"

Pria berkaos hijau tua dengan celana loreng itu membaringkan tubuhnya menatap langit.

"Ya, dewasa. Tidak kekanakan. Lebih pandai bersikap, lebih berhati-hati berucap, lebih peka dengan lingkungan."

"Bang, aku sudah punya KTP. Kapan Abang mau ngajak aku foto pakai seragam hijau?"

Pria tadi kembali tertawa.

"Kamu mau jadi Wara?"

"Aku mau jadi anggota Persit."

Kejujuran Arin malah membuat sang pria semakin terbahak.

"Kamu itu, kuliah dulu yang bener. Selesaikan sekolahmu, kerja yang baik, baru mikir nikah."

Arin menoleh, menatap pria bertubuh kekar dengan tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter itu.

"Umur Abang udah empat puluh kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Aku sebentar lagi dua puluh."

"Iya, terus kenapa? Dulu, waktu aku nolong kamu, kamu masih umur dua tahun. Nggak kerasa, sekarang kamu sudah sebesar ini."

Arin tersenyum dan membaringkan tubuh di samping sang pujaan hati.

"Bang, cerita dong, dulu kenapa Abang bisa nolongin aku?"

Sang dara memposisikan tubuhnya tidur menyamping, beralas rerumputan hijau di atas bukit belakang rumahnya.

"Dulu, Abang masih pendidikan. Waktu itu kami ada latihan di sekitar sini dan kebetulan musibah itu terjadi."

Arin menatap lekat pria yang berbantal telapak tangan sembari menatap langit itu. Dengan seksama ia menikmati cerita sang pria.

"Waktu gempa terjadi, kami diperintahkan untuk segera menyisir lokasi-lokasi terdampak. Salah satunya ya desamu ini. Waktu itu aku lihat Ibu nangis. Ibu dan kakakmu selamat, tapi kamu masih ada di dalam rumah yang atapnya sudah hancur."

Harun, pria itu menoleh ke arah Arin.

"Keluargamu sudah pasrah. Ayahmu dulu masih merantau. Ibumu histeris, aku masih ingat sampai sekarang."

Arin tak bersuara, dia menikmati wajah berjambang dan berkumis nan maskulin itu.

"Lalu, aku dengar suaramu. Manggil Ibu. Kayak suara anak kucing kejepit got."

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang