Semalaman, Arin menangis, menumpahkan segala rasa yang ia punya. Hingga matahari naik, ia tak kunjung keluar dari rumah. Hanya bangun untuk salat Subuh dan tak ada yang ia lakukan lagi setelahnya. Rebahan, ya hanya itu hingga jam menunjukkan pukul sebelas siang.
Beberapa kali ia mendengar panggilan Atina, tapi Arin tak menjawab. Berkali-kali ia melihat ponselnya, tapi tak ada tanda-tanda Riko mencoba menghubunginya.
"Alin."
Gadis itu sontak menjerit saat ada orang memanggilnya. Bukan apa-apa, dia yakin tidak ada orang selain dia di rumah itu. Apalagi sudah sejak dua bulan ini, rumah itu tak di tempati meski, bude dan pakdenya setiap pagi membersihkan rumah itu.
"Allahu akbar!"
Si pelaku meringis dan menyodorkan es krim.
"Kamu lewat mana bocil?!"
Bocah itu menunjuk ke arah jendela.
"Ya Allah Gusti! Kenapa gen keluarga Zein seaneh ini sih? Nyelip di situ kamu?"
"Buka, buka!" pinta Haikal.
Bocah itu ternyata masuk dari jendela di sisi kamar Arin yang tak berteralis. Tubuh kecilnya bisa melewati celah selebar dua puluh senti itu dengan cara memiringkan tubuhnya.
"Ini buat Onty?"
"No no! Ikal," jawab Haikal cepat.
"Minta dong, Dek."
"Abang Ikal!" protes Haikal.
"Oke oke, Abang Haikal, Onty minta es krimnya dong."
Haikal menjilati seluruh bagian eskrimnya sebelum menyodorkan pada Arin.
"Mau? Kena ludah Ikal," katanya.
Arin melotot, dia menepuk jidat. "Mirip banget sih sama Om kamu, Om Riko, ih."
"Iko? Iko mana ya?"
"Om Riko tugas. Kerja."
"Iko tangkap jahat?"
Arin mengangguk. "Iya, Om Riko nangkep penjahat."
"Ikal uga loh."
Arin terkekeh, dia meladeni bocah kecil itu sembari mengusap cemongnya dengan tisu.
"Haikal mau jadi polisi kayak Om Riko?"
Anak itu mengangguk.
"Nggak mau kayak Abi? Jadi tentara gitu."
Haikal menggeleng. "Abi galak. Iko nggak."
"Oh ya? Om Riko nggak galak? Tapi sama Onty, dia galak loh."
Haikal menatap tantenya. Arin yakin, kelak Haikal akan tumbuh setampan ayahnya. Cinta pertama yang ia punya.
"Onty nakal. Iko malah. Onty baik Iko nggak malah."
Mata Arin berkedip-kedip. Ia baru saja dinasihati bocah yang umurnya beda dua puluh satu tahun dengannya itu.
"Haikaaaaaaaal! Haikaaaaaal!" teriakan Atina terdengar panik.
Ia pasti baru menyadari kalau putranya hilang. Bocah itu segera melongokkan kepalanya di celah jendela.
"Ummi! Ikal nini!"
Arin pun akhirnya mengikuti si bocah.
"Haikal di sini Kak, sama aku kok."
"Alhamdulillah, kirain kemana. Tadi masih tidur, ditinggal bentar udah ilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Romance"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...