Part 29. Kota Kelahiran

1K 126 7
                                    

Teriknya matahari membuat peluh dara yang baru saja menginjakkan kaki di rumah orang tuanya itu mengucur.

"Nggak Jogja, nggak Wonigiri, sama panasnya," desahnya sembari melepas masker dan sarung tangan.

"Hei, udah sampai?"

Sosok pria menyapanya, ada cangkul di tangan pria tersebut. Kakinya berlumpur, menggunakan celana training bertulis nama akademi militer. Kulit pria itu terbakar matahari, tubuhnya cukup oke, sedikit atletis, meski jauh jika dibandingkan dengan Riko. Apalagi wajahnya.

"Udah, Mas siapa?"

"Calonmu."

Arin mengernyitkan dahi, dia tersenyum aneh.

"Fix, modelan begini mau dikenalin ama gue. Duh, kira-kira dong bang Harun. Ya, emang sih proporsi badannya lumayan, tapi gue udah punya serbuk berlian loh. Ya kali mau dituker serbuk mesiu? Baru diirup bisa meledak gue." Batin Arin.

"Sendiri aja? Keren banget sih cewek motoran sendiri."

"Hmm... Ya, kan harus mandiri jadi cewek. Cuma Wonogiri-Jogja sih kecil."

"Keren deh, cantik, mandiri. Jam berapa tadi berangkat?"

"Jam delapan dari sana." Arin sedang berusaha memikirkan sesuatu untuk menghentikan obrolan.

"Naik Buroq cepet loh. Aku pengen naik, tapi nggak kesampaian." Orang itu tertawa receh.

Arin mengeluarkan cengirannya dengan terpaksa, ia menghargai kerecehan pria itu. Tak mau jika ia harus berurusan dengan Harun yang pasti akan memarahinya jika tak bersikap baik pada juniornya.

"Emang mau isro' mi'roj? Naik gledek aja, biar cepet nyampainya."

Orang itu terbahak tambah keras sambil bertepuk tangan.

"Gila juga kamu ya. Tos, ah. Kita sama. Seserver kita."

"Yoi, seserver. Aku masuk dulu ya, capek banget," pamit Arin.

"Eh, eh, apa bedanya kamu sama cangkul?"

"Apaan emang?"

"Kalau ini buat menggali tanah, kalau kamu buat menggali hatiku. Aku nggak pengen kita pacaran. Aku pengen kita halal-halalan. Biar nggak takut keduluan, sama orang sembarangan."

Tawa pria itu semakin membahana. Arin tertawa garing.

"Eh, tunggu dulu, kita loh belum saling kenal. Main halal-halalan aja. Lagian, aku itu udah punya calon sendiri."

"Calonku ada lima. Rupa-rupa namanya. Dikau, Nuning, Surkiju, Marwah nida dan Ratu. Meletus calon Dikau, Dor! Hatiku sangat kacau. Calon tinggal empat. Kupengang erat-erat."

Arin terbahak. "Dikau dikau. Kayak jaman baheula tau!"

"Dikau, Dinda. Daku mencintaimu selalu."

"Daku ... Daku ... Daki lu banyak," sahut Arin asal sambil tertawa.

Pria itu ikut tebahak.

"Daki, daki apa yang bikin capek?"

"Daki gunung lah."

"Salah. Dakian lama, aku menunggumu ... Aku menunggumu."

Arin terbahak. "Receh juga kamu, ah andai Mas Riko receh kayak kamu. Pasti seru."

"Riko siapa? Riko? Enak tau!"

"Kiko itu Kiko! Riko itu calon suamiku."

"Calonmu kan aku. Udah fix no sunat!"

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang