43. Sisterhood

2.2K 90 5
                                    


Menjalani kehidupan sebagai seorang istri dari abdi negara, membuat Arin cukup paham kapan ia harus memanfaatkan waktu bersama sang suami dan kapan harus merelakannya pergi bertugas.

"Onty, besok kalau Tara besar, Tara mau kayak Onty. Pakai baju pink gitu."

Ucapan sang keponakan membuat Arin terkikik. "Kamu mau kayak Onty? Kamu harus cantik,cerdas, dan bermental baja."

"Bermental baja? Baja yang dipakai buat bangunannya Papa itu? Dimakan?"

Arin terbahak, keponakannya yang berusia lima tahun tersebut memang kadang sepolos ibunya. Bukan, cenderung bodoh, menurut Arin.

"Dasar anak kuli bangunan, begitu itu pikirannya," gumam Arin sembari terkekeh.

"Eh, Sayang kok gitu? Kamu ngatain Tara?" Riko yang baru selesai mandi, ikut nimbrung.

"Enggak ih, kan beneran dia anak kuli bangunan."

"Bapaknya itu arsitek, eh enggak, kontraktor. Jangan samain sama kuli dong." Riko mengingatkan.

Tara yang asik berbagi makanan dengan Arrazzy, adik laki-lakinya yang berumur tiga setengah tahun, tak menggubris obrolan sang tante dan omnya.

"Kalian masih lama kan liburnya? Besok Om ajak ke pantai, mau?"

"Pantai? Pantai yang banyak orang jemur-jemur?" tanya Razy pada Riko.

"Ha? Jemur-jemur? Oh berjemur? Iya. Mau."

"Nggak ah, jemur sama ikan asin. Bau."

Riko mencubit pipi ponakannya itu dan menciuminya. "Kalau di pantai Jogja, nggak kayak di pantai utara sayangku. Kalian sih, mainnya di pantura terus. Di sini bagus. Nggak pada jemur ikan."

"Bener?" tanya Razy.

"Iya. Om Iko, Om Iko punya tembak?"

"Punya. Kenapa?"

"Kenapa kalau Onty marah-marah nggak ditembak aja, kan Onty Arin cewet."

Celetukan Razy membuat Arin mendelik dan Riko terkekeh. "Heh, anaknya Tasha Aluna! Bener-bener ye. Emang kenapa kalau Onty cerewet, kan Om Iko cinta."

"Kepaksa kali," celetuknya membalas sang tante.

Riko dan Tara terbahak. Razy memang sebelas dua belas dengan Arin, menuruni sifat ceplas ceplosnya. Kedua orang tua bocah itu akhirnya muncul.

"Dek Riko, bisa bicara sebentar?"

Pria yang tengah menggendong bayi berumur delapan belas bulan itu mengajak bicara Riko. "Sayang, nitip Rasha dulu."

Tasha, kakak Arin mengambil putri ketiganya sembari duduk di samping Arin yang tengah menghias kue.

"Mama, Onty kami main dulu ya. Mau main sama Abang Ikal."

"Iya. Jangan centil-centil sama Ikal. Ingat, boleh mancing tapi nggak boleh terlalu terlihat, oke?" pesan Arin pada sang keponakan. Tasha melotot.

"Dasar kamu ini, anakku masih lima tahun, kenapa diajarin begitu."

"Jadi Tara itu berat Mbak. Liat, sekecil ini adiknya mau tiga loh. Hidupnya bakal berat. Kurang kasih sayang. Mbak hobi banget beranak sih."

Tasha mendengkus. "Rin, ini kan rejeki. Nggak bisa ditolak. Aku udah coba KB kan kemarin, dua kali kebobolan. Mau gimana?"

"Lakimu aja yang ngeri. Eh, itu kenapa tumben-tumbenan Mas Auf serius banget ngobrol sama lakiku? Emang ada apa sih kok akhir-akhir ini kayaknya ada yang nggak beres."

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang