Part 35. Setengah Mati

1.3K 128 10
                                    

Riko seperti orang kesetanan, ia mengerahkan seluruh anak buah dan kenalannya untuk mencari keberadaan Arin. Dalam daftar manifes penumpang tak ditemukan nama Arin. Meski begitu, tetap saja jejak Arin tak terlacak.

"Kak, Arin kemana," tangis Riko pada sang kakak, Atina.

Wanita itu menyilangkan tangan di depan dada.

"Kenapa kamu bisa cuek sama Arin kayak gitu? Sepulang kakak dari rumah Ummi, kalian bertengkar kan?"

"Kak, tolong jangan marah dulu. Aku lagi nyari Arin. Please, bantuin aku dapetin tiket ke Jogja paling pagi. Ya, Kak. Please."

Riko menangis sejadi-jadinya, tak peduli dengan pangkat yang ia sandang. Ia hanya laki-laki lemah yang menangisi kepergian calon istrinya.

"Sekarang, kamu bisa nangis kayak gini. Nggak ada gunanya! Kamu udah niat buat nikahin dia, kamu harusnya bisa menerima dia, mengesampingkan egomu, atau setidaknya tahan dirimu belajar jadi lebih dewasa lagi. Kamu itu sudah tua, Riko! Nggak ada yang bisa tahan sama kamu selain Arin!"

Riko masih menangis tersedu.

"Ummi! Ummi!" panggil Haikal.

Wanita berbadan dua itu segera menoleh dan mengulurkan tangan ke putranya.

"Ikal! Abang Ikal! Tungguin!"

Sesosok wanita berpiyama terlihat mengejar Haikal. Riko menghapus air matanya, membuat pandangannya lebih jelas. Seketika ia berlari dan menubruk sosok itu.

"Arina!"

Arin terdiam, sesak, itulah yang ia rasakan. Riko memeluknya terlalu keras.

"Mas! Mas! Heh, lepasin, nggak bisa napas!" protes Arin.

Riko melonggarkan sedikit pelukannya.

"Jangan tinggalin aku."

"Tadi nyuruh aku pergi, sekarang nangis-nangis. Dih, ingusan."

"Iko angis Iko engeng!" ledek Haikal.

"Tuh, diledek sama ponakanmu. Sana cuci muka."

Pria itu menurut, segera menghilang ke arah kamar mandi. Di dalam hatinya, Arin merasa senang. Meski kesal, ia sadar jika Riko benar-benar mencintainya. Sebegitu takutnya Riko mendapati ia pergi tanpa pesan.

Arin segera pergi ke dapur, membuatkan minuman untuk kekasihnya. Belum sempat ia menuang air, teriakan panik Riko sudah menggelegar memanggil namanya.

"Aku di dapur!"

Secepat kilat, Riko berlari ke dapur dan tak menyisakan jarak antara mereka.

"Mas, bentar, aku bikinin minum dulu. Ini udah malem loh, jangan teriak-teriak gitu. Haikal juga barusan siap-siap bobok. Bisa dimarahin Kak Tin nanti!" tegur Arin.

Riko tak peduli, ia tetap mengaitkan tangan diperut kekasihnya. Mengikuti langkah Arin ke sana kemari tanpa melepasnya sedikitpun. Bunyi perut, mengusik keheningan keduanya.

"Mau makan apa?" tanya Arin.

Riko menggeleng. "Nggak laper kok."

"Hal sekecil ini aja kamu bohong, Mas. Jelas-jelas  perutmu bunyi. Aku tuh pusing sama sikapmu. Maunya apa sih?" keluh Arin.

"Aku nggak mau kamu repot," lirih Riko.

Arin mendorong tubuh Riko menjauh. Ia kemudian duduk di atas meja.

"Suami istri itu partner hidup Mas. Aku bakal merepotkanmu, dalam hal keuangan, kamu harus banting tulang buat nafkahin aku meski aku punya penghasilan sendiri. Dan kamu juga akan merepotkan aku, dalam hal kebutuhan sehari-hari. Masak, nyuci, beresin rumah, nyiapin baju, ngurus anak dan lain-lain. Itu udah wajar dan memang harusnya begitu. Tapi, daripada menggunakan kata merepotkan, mending pakai kata menjalankan tugas. Kamu mencari nafkah, aku yang ngurus kebutuhanmu di rumah."

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang