Part 2. Demo

1.9K 180 32
                                    

Jogja 2019

Matahari baru saja memamerkan kacamatanya. Cahayanya sedikit redup tetapi panasnya tetap membara. Peluh bercucuran di pelipis dara yang baru selesai mengikuti mata kuliah seminar itu.

"Rin, ikut demo yuk."

"Ogah ah, kurang kerjaan banget."

"Ayo dong, sekali-sekali ikutan."

Gadis tadi hanya pasrah saat ditarik dua temannya ke arah gerbang kampus, tempat dimana ratusan rekan mereka tengah berorasi menyuarakan pendapat menentang salah satu kebijakan pemerintah.

Arin yang awalnya pasrah, tidak kuat menahan semburan panas bagaskara yang tengah menonton dari atas sana. Gadis itu akhirnya melipir, mencari tempat teduh.

Jalannya demonstrasi dikawal oleh pihak kepolisian. Beberapa petugas tengah berjaga di depan gerbang masuk universitas tertua di Jogja itu.

"Eh, Rin. Ngikut juga?" sapa salah seorang kenalan Arin.

"Biasalah, pemaksaan. Dari pada dianggap ga solid. Padahal nggak ada gunanya juga begini," desah Arin sembari duduk di samping gadis yang tengah menunggu giliran membeli cilok itu.

"Kamu mau cilok juga nggak?"

"Boleh deh, nih pesenin sekalian."
Arin merogoh uang di sakunya dan menyerahkan pada temannya.

"Pedes nggak Mbak?" tanya si penjual cilok pada Khawla, teman Arin.

"Punyaku nggak Mas. Rin, punyamu pedes?"

Arin menoleh lalu mengangguk. "Pedes, kayak mulut istri tua," seloroh Arin.

Khawla terbahak, kemudian mengambil cilok dari si penjual.

"Kamu udah mulai seminar juga belum La?"

"Iya, bentar lagi tinggal skripsi terus selesai. Habis itu kawin deh."

"Byuh byuh, enaknya yang punya calon. Kalau aku habis kuliah, mau cari-cari dulu."

"Cari apaan? Kerja apa jodoh?"

"Cari Om-Om buat dikerjain," jawab Arin santai.

Khawla hampir tersedak ciloknya.

"Kamu ini Rin! Kalau ngomong suka sembarangan."

"Dih, kamu belum pernah ngerasain anuan Om-Om sih, jadi mana tau nikmatnya."

Si penjual cilok sedari tadi mencuri dengar percakapan Khawla dan Arin.

"Ini cilok pedes banget perasaan," desah Arin sembari menahan rasa pedas yang membakar mulutnya.

Arin akhirnya mengamati plastik ciloknya.

"Mas, pedes banget weh. Sambelnya berapa banyak ini tadi?" protes Arin.

Si penjual cilok membenahi topinya sebelum menoleh pada Arin.

"Loh, kata mbaknya sing pedhes. Koyo mbok tuwo. Ya sudah, apa saya salah?"

Arin mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya.

"Mau minum, Mbak?" tanya si penjual cilok.

Arin hanya mengangguk. Mukanya memerah, Khawla jadi panik dan segera mencarikan minum untuk Arin yang mulai menitikkan air mata.

"Nih, minum saya mau Mbak?" tanya si penjual cilok lagi.

Arin tak pikir panjang, dia menerima botol minum berwarna silver itu. Kemudian meneguknya dan seketika Arin menjerit.

"Panass! Aaaaah!" teriaknya sembari menangis.

"Lah, Mbak pelan-pelan makanya."

Baju Arin habis basah tersiram air panas, tangan dan mulutnya pun jelas menunggu waktu saja untuk melepuh.

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang