Satu, dua, tiga, dan empat hari berlalu. Arin kini mulai terbiasa berbincang dengan wanita di depannya itu.
"Sepulang dari sini, apa aku masih boleh ngobrol sama kamu, Rin?" tanya Kamila saat Arin memijit kakinya.
"Boleh dong, Mil. Kan kita temenan."
Senyum yang terkembang di wajah Arin kini lebih tulus dari sebelumnya. Setelah berbincang dengan Riko tempo hari, dia merasa sedikit lega.
"Inget vitaminnya jangan lupa diminum. Terus juga jangan OVT terus. Kasian dedeknya, ya?"
Kamila mengangguk dan tersenyum.
"Makasih ya, Rin."
"Sama-sama bumil cantik!"
Pintu ruang rawat terbuka, sosok Riko masuk.
"Udah selesai semua administrasinya. Kita pulang?"
Kamila mengangguk senang.
"Mami sudah kasih kabar kalau mereka di bandara. Paling sore nanti nyampe sini."
Arin membiarkan keduanya berbincang. Dia memilih untuk memberesi kertasnya dan pamit.
"Mila, aku pamit dulu ya. Sehat-sehat ya."
Arin memeluk Kamila dan disambut hangat olehnya. Riko tersenyum melihat interaksi keduanya. Sekilas Arin melihat ekspresi senang Riko.
"Bisa bantu bawain barang?" tanya Riko kemudian.
"Hm? Bisa, Mas," jawab Arin ragu.
"Ih, Darl kok gitu sih. Malah nyuruh Arin. Nanti aku bisa bawa barangnya."
"Eits, no, no. Bumil nggak boleh bawa barang berat," sahut Arin.
"Rin, maaf ya ngerepotin."
"Dia di sini kan dibayar buat melayani kita kan? Ngapain kamu minta maaf? Toh, kita udah bayar."
Riko ketus.
"Riko! Jangan gitu dong!" sergah Kamila.
Arin hanya bisa tersenyum kecut. Diam-diam dia melirik Riko yang kini tengah tersenyum jahat padanya dengan alis terangkat. Khas Riko yang dulu, khas Riko yang tengil dan menyebalkan.
"Aku ambilin kursi rodanya dulu."
Arin bergerak cepat, mengambil kursi roda dari ruang perawat. Kemudian kembali ke ruangan Kamila. Wanita tadi sudah berdiri di samping ranjang sembari dibantu Riko mengenakan jaket.
"Sini, pelan-pelan, duduk."
Kamila menurut, Arin membenahi letak pijakan kakinya agar wanita itu nyaman.
"Barangnya ini aja?" tanya Arin.
"Iya, itu yang tas merah aku aja yang bawa. Bisa aku pangku," kata Kamila.
Arin menyerahkan tas berukuran kecil itu pada Kamila.
"Mil, nih Mami telpon." Riko menyerahkan ponsel Kamila pada si empunya.
Wanita itu terlihat bahagia bertukar sapa dengan orang di ujung telpon.
"Buruan dorong," titah Arin pelan.
Riko akhirnya mendorong kursi Kamila. Tak sengaja ia bersenggolan dengan lengan Riko. Reflek Arin memastikan sesuatu. Tangannya terulur ke dahi Riko.
"Kamu demam?" ucap Arin tanpa suara.
Riko menggeleng kemudian melanjutkan langkahnya. Sementara Arin masih berada di tempatnya sebelum akhirnya menjinjing tas pakaian milik Kamila dan mengikuti keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Romance"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...