Pasca kejadian heboh di Wonogiri tempo hari, kini Arin yang diboyong ke tempat kelahiran Riko. Meski kedua orang tuanya asli dari Solo, tapi keluarga Zein sudah dua puluh lima tahun menetap di Aceh.
Sejak menginjakkan kaki di bandara, Arin tak banyak bicara. Ia hanya merespon sesekali saja. Atau kalau tidak dia hanya bicara dengan batita di gendongannya.
Harun tak melepaskan tangannya sedikitpun pada sang istri yang tengah mengandung buah cinta mereka yang kedua. Sementara sedari turun tadi Riko sibuk dengan ponselnya, menelpon entah siapa.
Ya, cuti sih cuti tapi pekerjaan tentu tak begitu saja bisa ia tinggal. Si kecil tertidur di gendongan Arin. Dari dinding kaca bandara Arin melihat penampakannya yang cukup lusuh. Ya, bagaimana tidak, selama diperjalanan, si bocah itu menempel erat padanya. Bekas cokelat, minuman, bahkan sampai susu, bercampur membuat baju putih Arin mendadak bermotif tie dye.
"Njir, gue kayak pengasuhnya si bocil kalau jalan sama mereka. Itu Tuan sama Nyonya pada mesra amat, calon laki gue sibuk sendiri telponan. Gue ditinggalin di belakang. Mana paling bogel lagi." Monolog Arin.
Saat sampai di area penjemputan, ada dua orang menyambut.
"Tuan Bos, Nyonya," sapa mereka ramah.
"Sekalian punya Riko dan Arin, jangan sampai tercecer."
Keduanya mengangguk.
"Eh, Aden tidur ya?"
Arin tersenyum ramah.
"Sini Mbak, tasnya Aden biar saya bawa sekalian."
Ada dua mobil ternyata. Satu dengan sopir pria paruh baya yang ramah tadi dan satu lagi dengan pemuda yang menatap Arin aneh.
"Bang, mual," rengek Atina.
Harun segera membopong istrinya masuk ke dalam mobil mewah berpintu geser miliknya. Sementara Riko yang masih fokus dengan telpon di kanan mengetik sesuatu di ponsel satunya masuk di kursi depan.
"Heh, mau kemana? Mobilnya yang belakang," bentak si pembawa barang tadi.
"Raf, jangan keras-keras. Aden tidur. Mari Mbak, silakan," ucap pria paruh baya tadi sopan.
Mobil mewah milik Harun sudah melaju lebih dulu sementara Arin digiring masuk ke mobil hitam duduk berhimpitan dengan koper dan tas.
"Mbak, Aden biar sama saya. Atau Mbak mau duduk depan? Kasian kena koper."
"Enak aja, anak baru ya dibelakang lah. Masih enak nggak ku suruh naik taksi," sewot si pemuda yang kini menyetir mobil buatan Jepang itu dengan kecepatan cukup tinggi.
"Haikal biar sama saya saja, Pak," ucap Arin. Ia enggan melepaskan keponakannya pada orang asing.
"Mbak namanya siapa?" tanya si bapak yang duduk di kursi depan.
"Saya Arin Pak."
"Dari Jawa ya?"
"Iya, Pak. Kok Bapak tahu?" tanya Arin sopan.
"Pembawaannya keliatan Mbak, halus," ucap si Bapak.
Obrolan basa basi selesai dan Arin merasa canggung berada di sana. Terlebih ketika ponakannya menangis meminta susu.
"Beli dulu aja ya? Susunya kebawa Ummi, Sayang," ucap Arin sambil menenangkan Haikal.
"Mas, kalau ada mini market terdekat, tolong berhenti dulu ya?"
Ucapan Arin diiyakan oleh si sopir. Dan tak lama mereka berhenti. Arin membelikan minuman untuk Haikal.
"Wah keterlaluan, cuma buat Aden saja belinya? Kau tanyalah kami mau minum juga tidak. Gimana sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Storie d'amore"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...