Prabu Cakra Bhirawa, pria yang kini duduk di bangku sembari menatap ikan di kolam, sesekali melirik ke arah kanan. Sosok gadis berkerudung hitam itu bersenandung kecil melihat ikan-ikan milik sahabatnya berenang di kolam.
"Dek."
Arin menoleh," Ya?"
"Kamu nggak ke Semarang?"
"Pengen sih, tapi nunggu Masku libur dulu biar bisa jemput."
"Aku mau pulang ke rumah, mau bareng sekalian?"
"Abang mau pulang ke Salatiga?"
"Iya, mau ikut? Nanti aku anter sampai Semarang."
"Kapan Abang pulang?"
"Besok Selasa sampai Minggu."
"Lama banget? Cuti?"
Prabu mengangguk. "Iya. Kangen sama Ibu."
"Ih manisnya. Pak Tara kangen sama Ibunya."
Prabu tersenyum. "Tentara juga manusia. Lahir dari Ibu. Bukan lahir dari batu."
Di balkon lantai dua, Kayla mengamati gerak-gerik sepasang muda-mudi itu. Persis seperti seorang ibu yang tengah memantau putrinya saat sedang berdua dengan pacarnya.
"Rencananya aku mau ajak kamu mampir sekalian ke rumah, kalau mau sih. Aku kenalin ke ibu sama ayah."
"Dih, Abang, bahasamu bikin oleng. Haha. Berasa kayak mau apa gitu."
"Ya siapa tahu jodoh." Prabu terkekeh.
"Ehem ... Apa nih main jodoh-jodohan? Bang, itu si bocah kagak beres. Nggak usah dibaperin, Bang. Kasian, udah nggak punya orang tua. Kalau Abang kasih harapan palsu, mending nggak usah deh," teriak Kayla dari atas.
Prabu spontan mendongak, begitu juga dengan Arin.
"Ih, nyambung aja kek kereta!" protes Arin.
"Diem lu bocah, Bunda bilangin Ayah loh," ancam Kayla.
Arin memasang wajah kesal, sedangkan Prabu malah tersenyum.
"Jadi, ini alasannya kenapa kamu batalin rencana jalan-jalan kita?"
"Anu ... Itu ... Bang, aku ... Nggak berani ngelawan mereka," cicit Arin.
Prabu menghembus napas berat.
"Kamu beruntung, itu tandanya mereka sayang sama kamu, Dek. Mereka jagain kamu. Nggak mau kamu salah langkah dan disakiti orang."
"Tapi mereka berlebihan. Abang kan orang baik, kenapa mereka segitunya curiga sama Abang," bisik Arin agar Kayla tak mendengar suaranya dari atas sana.
Prabu menatap Arin sejenak.
"Aku mau jujur sama kamu."
Gadis itu otomatis membalas tatap sang pria.
"Aku mendekatimu karena terpaksa."
Arin tak merespon apapun, dia menunggu penjelasan Prabu.
"Kamu ingat kan pertama kali kita ketemu dulu? Aku salah. Bang Riko lapor ke atasanku dan posisiku tidak aman. Makanya saat Pak Harun menyuruhku mengawasimu, menjadi temanmu, aku setuju."
Prabu menjeda ucapannya.
"Aku hanya berpikir tentang karierku. Aku membohongimu. Aku tidak pernah tulus berteman denganmu. Semuanya rekayasa."
Pria itu menunggu reaksi Arin. Dia siap jika tiba-tiba Arin menamparnya atau menangis histeris. Bahkan mengatainya jahat.
"Maaf."

KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Romantizm"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...