Part 11. Dia

1.3K 137 24
                                    


Pracimantoro 2019

Aroma gurih tercium dari dapur, mengalahkan asap pembakaran kayu di tungku. Pria yang mengenakan kaos putih itu berjalan ke arah suara berisik yang sedari tadi ia dengar.

Dara berdaster yang kini tengah sibuk menuang air panas dari teko tak menyadari keberadaannya.

Riko mengamati kesibukan gadis itu, berjalan ke sana kemari. Daster bermotif batik, rambut dicepol asal, bandana yang ikut tersansang di sana, serta sendal jepit swalow itu benar-benar jauh dari kata istimewa. Namun, semuanya justru menggelitik pikiran sang pria.

Tangannya sengaja menangkap gambar kesibukan wanita itu. Mengabadikan dalam sebuah foto. Dering ponsel sang dara membuat aktifitasnya terjeda.

"Wa alaikum salam, Bang. Iya, lagi masak. Abang udah sarapan? Lagi dimana? Kayunya masih kok. Iya, nanti kalau abis mungkin aku keluar lagi sih. Hm? Eh nggak usah Bang. Beneran kok. Iya, adek baik-baik disini, Abang juga baik-baik ya di sana. Iya, Wa alaikum salam."

Riko berdehem, membuat Arin menoleh.

"Siapa?"

"Bang Prabu," jawab Arin santai.

"Ngapain?"

"Kepo."

Arin mengaduk teh yang baru saja ia seduh.

"Kita semalem udah janjian mau jadi bestie. Apa salahnya berbagi sama bestie?"

Arin mengernyit. "Kayak cewek deh kamu. Pake bestie bestiean. Yuk, sarapan."

Riko mengekor sang dara menuju ke ruangan multifungsi yang menjadi pusat rumah itu. Beberapa kali Arin bolak balik dari ruang itu ke dapur untuk membawa sayur dan perlengkapan makan mereka.

"Sudah sejauh apa hubunganmu sama dia?" tanya Riko sembari meniup tehnya.

"Kayak bapak-bapak nanya ke anaknya deh," seloroh Arin.

"Aku cuma pengen tahu. Soalnya keliatan kalau dia nggak ada maksud lain ke kamu. Kamu yang baperan."

Jawaban Riko membuat Arin sedikit kesal.

"Jangan ngerusak mood ya pagi-pagi."

Riko tak merasa bersalah.

"Keliatan kok, kami sama-sama cowok, Pinky."

"Jangan nyama-nyamin deh. Kalian itu dua orang yang berbeda. Meski sama-sama laki-laki, tapi karakter lebih berperan dibanding gender."

"Kamu tahu alasan dia pindah ke sini?" lanjut Riko sembari menerima piring berisi nasi, sayur, dan lauk itu.

Arin hanya menatap Riko dengan tatapan meminta penjelasan.

"Bang Harun yang kirim dia. Semua ini, bukan kebetulan. Bukan takdir kayak yang kamu pikirin."

Selera makan Arin mendadak hilang.

"Baru juga semalem kita baikan, kamu udah bikin aku kesel lagi sih, Bi! Nyebelin banget, Babi," dengus Arin.

"Baby, Bebi, atau Bi aja juga nggak apa-apa sih. Tapi jangan Babi."

Kalimat itu membuat Arin semakin kesal. Dia meletakkan kembali piringnya dan beranjak dari amben cor, tempat mereka duduk. Riko mencekal tangannya dan memaksa gadis itu duduk kembali di sampingnya.

"Duduk, makan!" tegas Riko.

Arin berdecih. "Nggak jadi laper."

Riko menyendokkan nasi dan sayur kemudian menyodorkan pada Arin.

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang