Sinar mentari pagi menyapa dara yang tengah bersiap berangkat mengais rejeki itu. Arin, membuka pintu kontrakannya sembari menenteng sepatu berhak tiga senti.
Sebotol susu dan tiga potong roti dengan secarik kertas berada di atas meja teras.
"Oh, ini roti yang sama kayak yang di post Eza di story dia tadi kan? Manis banget ih bocah."
Arin tersenyum dan meneguk botol susu bertulis huruf A itu.
"Jangan dibuang botolnya, simpen ya." Arin membaca kertas itu. Dia kemudian meletakkan botol itu di samping taman kecil di sudut teras.
"Lumayan besok kalau ada tukang rosok bisa dijual tuh. Kumpulin dulu," gumam Arin.
Dara itu beraktifitas seperti biasa. Seolah tak ada hal yang telah terjadi. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, rasa sakit dan kecewa masih menjalar. Namun, Arin berusaha untuk tetap tegar.
Ada sedikit sesak saat melangkah ke tempat kerjanya. Pasti ada kemungkinan dirinya bertemu dengan Riko di sana.
Sebuah ruangan bertulis 'ruang konsultasi' menjadi tujuan Arin pagi itu. Dua rekan kerjanya sudah datanv lebih dulu.
"Rin, ada pasien baru yang butuh konsulan. Ini, kamu yang ke sana ya. Orangnya harus bed rest soalnya. Melati 2."
"Siap bos!" seru Arin sembari menerima lembaran kertas.
Dia merapikan seragamnya, mengukir senyum ceria meski hatinya tengah terluka. Langkah anggun sang dara seperti biasa terlihat. Keramahan khasnya, bertukar sapa dengan rekan kerja maupun pasien yang tengah mengantri berobat terdengar renyah.
Melati 2, ruang VVIP tujuan Arin. Dia mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Langkah ringannya seketika berubah berat.
"Selamat pagi," sapa Arin.
"Nyonya Sarania Kamila?" Arin memastikan.
Wanita yang tengah terbaring lemah itu mengangguk. Sosok pria di sampingnya mematung. Arin berusaha profesional meski tak mudah.
Senyum ceria disunggingkan wanita itu.
"Saya Arina, selama Mbak Kamila di rawat di sini, saya yang akan menjadi teman bicara Mbak Kamila."
Kamila mengangguk lemah. Dia tak ingat jika semalam mereka pernah bertemu.
"Maaf, Pak, apa boleh kami berbicara empat mata saja? Bukan maksud saya mengusir tapi begitu memang aturannya. Bapak bisa tunggu di luar. Lima belas menit saja."
Arin meremas papan penjepit kertasnya, mencari kekuatan saat menatap Riko dan tersenyum seolah mereka tidak saling kenal. Pria itu mengangguk.
"Darl, jangan jauh-jauh," lirih Kamila.
Arin menelan ludah dengan susah payah menahan gejolak rasa yang membakar jiwanya.
"Mbak Kamila mau Mas Riko di sini?"
"Mbak kenal sama Riko?"
"Eh ... Itu namanya Riko kan? Bukan ya? Atau siapa? Saya baca di data pasien."
Arin mencari alasan.
"Iya bener Mbak. Oh, kirain Mbak kenal sama Riko. Jarang-jarang dia kenal sama cewek selain saya sama istri atasannya."
"Aku tunggu di luar, Mil. Aku nggak mau disalahkan kalau prosedurnya memang seperti itu."
Kamila mengangguk dan tersenyum.
"Tolongin ini dulu, geserin infusnya aku mau miring ke sana."
Riko menurut. Dia mendekat ke arah Arin dan meraih botol infus yang berada di sebelah kiri agar berpindah ke tiang sebelah kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Romance"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...