"Gempa vulkanik kembali terjadi. Status gunung merapi kini dinaikkan menjadi level siaga."
Dara yang tengah menyantap makan siang di burjo langganannya, mendongak menatap layar televisi yang tengah menampilkan siaran berita lokal.
"Ntar kita muter di perempatan-perempatan ya."
"Jangan lupa pake jas almet."
Arin menoleh pada kawan sejurusannya yang tengah menjelaskan tehnis open donasi untuk para pengungsi Merapi.
"Kita bakal kena razia satpol PP nggak?" tanya Arin.
"Tenang, udah berijin. Jadi kita bisa langsung eksekusi."
"Trus, aku dapet dimana?" tanya Arin sembari melihat kertas bertuliskan pembagian kelompok dan pos jaga mereka.
"Concat. Deket-deket JIH."
"Lah? Disitu mana ada lampu merah, oon! Yang ada tuh rumah sakit sama polda. Dan itu ring road, mana ada orang berhenti buat kasih sumbangan. Kecuali kalau di lampur merah deket UPN atau di terminal concat."
"Ya lu cari keliling aja disitu, banyak tempat makan. Di deket rumah sakit juga banyak tempat nongkrong."
Arin mendengkus. "Gila apa, orang di rumah sakit kan lagi pada kesusahan. Masak iya kita mau mintain mereka."
"Serah lu lah Rin. Yang penting tugas kalian di daerah situ."
Arin menutup mulutnya, sia-sia rasanya mie goreng lima ribu yang sudah masuk ke perutnya harus menguap gara-gara berdebat dengan orang yang tidak terlalu penting. Pada akhirnya dia hanya ikut arus dan pasrah.
"Rin, buruan abisin tuh minumnya. Kita berangkat sekarang."
Dara itu akhirnya mengangguk.
"Aa, bungkusin minumnya dong. Sayang nih masih setengah. Kalau mau sedekah ditambahim es batu, boleh banget kok," pinta Arin dengan senyum manis.
"Nggak sekalian nambah gula sama tehnya, Neng?"
Mata dara itu berbinar.
"Senyum dulu dong kalau gitu," ujar si pelayan burjo.
Arin mengeluarkan jurus mautnya.
"Aa baiiiiiiiiiiiiik banget deh," rayu Arin.
Demi seplastik es teh, dia merelakan bibirnya melebar ke kanan kiri selebar mulut joker dengan mata mengedip-ngedip. Si Aa burjo langsung memberinya es teh ekstra tanpa tambahan biaya.
"Njir, kelakuan lu ye emang," decih salah satu teman Arin yang setia menunggu dara itu berurusan dengan es teh plus-plus.
Setelah selesai, akhirnya gadis itu keluar dari burjo bersama Sashi.
"Sas, kamu yang depan. Aku lupa bawa SIM. Ntar kalau ketilang, panjang urusannya," tukas Arin saat mereka memakai helm.
"Okey. Kamu nggak calling Bara aja? Kali aja dia ada ide buat nyari sumbangan dimana. Rumah dia di deket RS kan?"
"Bener juga. Punya temen tajir melintir, kenapa nggak sekalian disuruh beramal."
Sembari membonceng motor Sashi, Arin menghubungi sahabat sejak SMAnya itu. Mata sang dara menyusur jalanan sambil sesekali menjawab pancingan obrolan Sashi.
Mereka sempat berhenti di lampu merah dalam waktu cukup lama. Sashi memilih tempat berhenti di bawah pohon di depan pelataran Cupid kafe, seperti dua orang pengemudi roda lain di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Storie d'amore"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...