Part 31. Pilihanku

1.1K 143 71
                                    

Asap mengepul dari dapur, beberapa orang wanita berkumpul, bahu membahu membuat kudapan sesuai dengan adat peringatan orang meninggal di daerah setempat. Arin, dengan seksama, menyimak urutan cara membuat wajik, penganan dari beras ketan dengan rasa manis.

Meski sedikit rumit, ia mempelajarinya. Satu alasannya, Riko sangat menggemari penganan itu. Tentu saja hal itu bisa menjadi bekalnya berumah tangga besok.

Sampai hari ini belum ada tanda-tanda jika kekasihnya itu akan datang.

"Mbak Rin, dipanggil bapak."

Ucapan sepupunya membuat Arin segera beranjak dari dipan dapur.

"Mbah, Arin masuk dulu ya," pamitnya.

"Ya," jawab wanita paruh baya yang biasa dibayar untuk rewang atau membantu dikala ada warga yang punya gawe.

Gadis berjilbab itu menemui sang pakde.

"Nduk, Rin. Duduk sini, ada tamu dari jauh kok nggak disambut."

Arin melongokkan kepalanya, menatap pria yang duduk di samping tiang penyangga rumah.

"Ini Lettu Jati, kenalin. Jati, ini adikku, Arin."

Pria itu terlihat lebih parah dari Prabu. Ya, lebih parah. Wajahnya memang berseri, the real face orang tanpa dosa. Jika disandingkan dengan Arin, pasti terlihat gambaran jelas mana surga, mana neraka.

"Assalamualaikum, Mas Jati."

"Wa alaikumussalaam, Mbak."

Hanya itu yang dia ucapkan.

"Ini yang namanya cowok jaga pandangan ya? Gadhul basar? Duh, apa jadinya kalau cowoknya gadhul basar sementara aku? Gondhal Gandhul binti Amburadul."

"Duduk sini, Dek," titah Harun.

Arina menurut.

"Mas Jati asli mana?"

"Probolinggo, Pakde."

Salah satu sepupu Arin yang tengah menyuguhkan minum tiba-tiba menyahut.

"Probolinggo? Wah, kenal sama member Syubannul Muslimin nggak, Mas?"

Jati menoleh sekilas, kemudian tersenyum. "Suka sholawatan ya?" tebak Jati.

"Iya, Mas. Fans garis keras Syubband," jawab Aina.

"Fans Gus Ahkam, Gus Azmi?"

"Iya, saya jadi suka hadrah gara-gara mereka."

Arin mengamati dua orang itu. Aina, sepupunya yang baru lulus dari pondok pesantren di Solo, jarang mau bicara dengan laki-laki, tapi sepertinya kali ini berbeda.

"Hadrah? Hadrah in Love? Novelnya Mbak Dewi Candra?" tanya Arin.

"Genre musik, Mbak itu. Tapi, novelnya Mbak Dewi Candra mungkin terinspirasi juga sih dari sana." Aina menambahkan.

Jati ternyata ikut menyahut. "Oh, kalian baca juga ya? Saya ngikutin dari Tabir Cinta, terus ke Lembayung Senja."

"Woh, seserver dong kita kalau soal itu. Aku juga punya novelnya, yang Allah Guide Me, Kalam Maya, sama Hadrah in Love. Ada dua lagi yang baru tapi masih on going di platform online. From alif to ya sama yang paling baru Sejelas Idzhar," ucap Arin.

Obrolan anak muda itu membuat Harun dan Ipul, ayah Aina bingung.

"Kalian ngomongin apa?"

"Itu loh, Pak. Novel yang sekarang jadi sinetron yang suka ditonton sama Ibu. Bapak sukanya nonton berita sih, jadi nggak paham," jawab Aina.

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang