Bagiku, merindukanmu adalah candu
***
Tahun demi tahun telah terlewati, sejak perpisahan sederhana sore itu, di bawah naungan hujan deras, tidak pernah sekali pun Kania bertemu dan mendengar kabar tentang Bastian. Well, mereka memang masih anak-anak waktu itu. Tetapi sekarang, Kania tengah sibuk berkutat dengan layar laptop yang menampilkan hasil essai miliknya untuk dikumpulkan besok ke dosen pengajar.
Gadis itu merapikan rambut panjangnya sambil bersandar. Pusing melakukan revisi sana-sini yang seolah tidak ada ujungnya. Jari-jemari ia tempelkan di kening untuk melakukan pijatan lembut. Sementara matanya kini mengarah ke sebuah figura foto coklat di ujung meja.
"Bastian ... Aku pusing nih mikirin tugas kuliah. Kayaknya aku salah jurusan deh," Kania cemberut, ia mengusap foto Bastian kecil yang sedang menggenggam erat tangannya di bawah pohon mangga.
"Kamu lagi ngapain sekarang? I miss you sooo much," bisik Kania, ia telah melakukan ritual berbincang dengan Bastian sejak anak laki-laki itu menghilang dari hidupnya. Rasanya sakit tidak bisa menemui sahabat paling baiknya di sekolah.
Gadis itu menyimpan figura foto itu kembali ke tempatnya dan menutup layar laptop. Jarum jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Namun, untuk ukuran mahasiswi semester dua sepertinya hal itu bukan hal yang aneh. Sebetulnya, mengerjakan tugas kuliah hanyalah kedok agar dapat bergadang menonton film favorit. Yeah, dan itu bukan rahasia lagi bagi Kania.
Kania menekan nomor telepon sahabatnya, Ovie. Nada dering mulai tersambung dan tidak sampai lima detik, seseorang mengangkatnya dengan intonasi suara mengantuk.
"Apa sih, Nia?" suara Ovie persis seperti sedang dalam pengaruh minuman beralkohol. Kania tertawa pelan dan berdiri melihat keluar jendela kamar. "Lo udah tidur?" tanyanya.
"Ya ampun, Kania. Kalau lo nelepon gue cuman buat nanyain gituan, gue tutup nih teleponnya," Ovie sukses membuat Kania tertawa lagi. Gadis itu kini membuka gorden dan jendela. Angin malam masuk menembus pori-pori kulit.
"Gue ... Kangen sama Bastian," ucap Kania, ia tahu ini adalah malam ke sekian dirinya membangunkan Ovie demi mengucapkan kata rindu kepada Bastian. Itu sudah jadi makanan bagi Ovie.
Di seberang sana Ovie berdecak dan membuka selimut yang membungkus tubuhnya. "Kania, lo bisa gila kalau setiap malam kayak begini."
Kania tersenyum, gila? Ya, ia gila hingga bisa bertemu kembali dengan Bastian. "Lo jangan terlalu larut sama pemikiran tentang Bastian. Gue yakin lo bisa kok ketemu lagi sama dia," lanjut Ovie.
"Ya udah deh, Vie. Gue kasian sama lo. Lanjut tidur sana, besok kan kita kuliah pagi," balas Kania pelan. Ia bersiap menekan tombol merah, namun suara Ovie membuatnya mengurungkan melakukan hal tersebut.
"Gue janji deh, gue pasti bantuin lo," ucap Ovie pelan. Dan, kalimat itu adalah kalimat ke sekian yang Ovie ucapkan untuk menenangkan hati Kania.
***
Suasana kampus pagi itu sangat ramai, para mahasiswa berlalu-lalang di tempat parkir hingga koridor kelas.
"Ryan!" suara Ovie terdengar sangat kencang hingga membuat mahasiswa lain menoleh terkejut. "Hey, Vie. Udah sarapan?" tanya Ryan, kekasihnya, yang sedang melangkah menuju perpustakaan di ujung gedung. Ovie mengangguk dan tersenyum.
"Kamu lihat Kania nggak? Hari ini ada kelas, lima menit lagi masuk tapi dia belum nongol juga," ucap Ovie, ia membenarkan letak buku-bukunya di dalam tote bag. Sementara Ryan mengedarkan pandangan.
"Dia nggak masuk kali, yuk sama aku aja. Lumayan bisa berduaan," Ryan menaik-turunkan alis membuat Ovie menjitak kepalanya. Ovie paling tidak suka 'digombalin', termasuk oleh kekasihnya sendiri.
"Sakit dong, Vie," Ryan merutuki perlakuan Ovie sambil mengusap kepalanya, rambutnya yang semula rapi kini berantakan. "Habis kamu sih. Eh, itu Kania. Bye, aku duluan, ya!" Ovie mengecup singkat pipi kanan Ryan dan berlalu. Ryan sudah memasang wajah badmood, bukan hal aneh lagi jika Ovie akan selalu memilih Kania daripada dirinya.
"Kania, lo pucet banget. Sakit?" Ovie menempelkan punggung tangan kanan di kening Kania. "Nggak, gue kurang tidur aja," jawab Kania sambil menurunkam tangan Ovie dari keningnya. "Yuk, ke kelas," ajak gadis itu, ia melangkah duluan menuju kelas. Namun, sebuah notifikasi masuk ke ponsel mereka.
"What?! Ngapain dong gue dandan cakep begini kalau hari ini cuman di kasih tugas doang?" protes Ovie sambil memasang wajah cemberut. Sementara Kania langsung tertawa bahagia dan merangkul Ovie.
"Nah, harusnya lo bersyukur, hari ini kita bisa 'nge-mall' iya, kan?" Kania tersenyum jail. Ovie merupakan mahasiswa rajin yang sangat aktif di kampus, ia merupakan kebanggaan para dosen. Kania? Gadis itu memang jarang aktif di kelas, tetapi memiliki segudang prestasi di bidang non akademik. Tidak lupa ia juga memiliki banyak penggemar di akun Instagram pribadinya.
"Siapa bilang? Kita belajar, minggu depan UTS, Kania," Ovie memutar bola mata sambil melepaskan rangkulan Kania. "Yaah, rajin amat sih. Udahlah, itu urusan belakangan. Lagi banyak diskon nih," Kania memamerkan beragam voucher belanja sambil menunjukkan deretan gigi putihnya yang khas.
"Nggak, pokoknya gue mau belajar," ucap Ovie yang langsung beranjak menuju perpustakaan. Kania berdecak sebal dan memilih untuk pergi ke luar area kampus. "Gue balik duluan deh!" pamit Kania yang dibalas lambaian tangan oleh Ovie. Sudah pasti Ovie dan Ryan akan menjadi pasangan serasi, sama-sama suka belajar, andalan dosen, aktif, dan rajin. Bahkan, Ryan merupakan asisten dosen yang digandrungi perempuan satu kampus.
***
"Menurut kamu ... Wajar nggak sih kalau Kania terlalu kepikiran sama temen lamanya itu?" tanya Ovie sambil memutar-mutar pulpen di tangan kiri. Di hadapannya, Ryan, yang tengah merangkum materi di buku catatan langsung mengangkat wajah.
"Kalau terlalu sering sih nggak wajar," jawabnya jujur. Ovie menghela napas panjang dan membuka halaman selanjutnya dari buku yang ia baca. "Kamu nggak ada niatan gitu buat bantuin dia?"
"Vie, itu kan urusan dia ... Dan kamu," jawab Ryan sambil menunjukkan cengirannya yang membuat Ovie mendengus kesal. Namun, sedetik kemudian gadis itu mengubah ekspresi menjadi seperti orang yang sedang berpikir keras.
"Apa?" Ryan menyadari gelagat itu.
"Aku punya foto Bastian," ucap Ovie, ia membuka galeri di dalam ponselnya. "Tapi waktu masih SD. Kali aja kamu kenal," gadis berlesung pipi itu menunjukkan layar ponselnya ke arah Ryan.
Ryan mengangkat sebelah alis. Lantas, ia menyipitkan kedua matanya. "Ini ... Mirip Bastian Adhikara."
"Hah? Kamu kenal?!" Ovie setengah berteriak dan langsung disambut oleh anggukan kepala Ryan.
"Iya, aku kenal banget."

KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...