Aku hanya takut kehadiran dia di antara kita akan merusak segalanya
***
"Aaah, Kania! Lo serius? Lo jadian beneran?" Ovie histeris ketika mendengar penuturan Kania yang panjang lebar sejak setengah jam yang lalu.
"Iya, emang kenapa sih? Harusnya nggak aneh dong," balas Kania sambil mengaduk jus alpukatnya. Ia melirik arloji sekilas, satu jam lagi kelas akan dimulai. Ovie masih menatapnya dengan kedua mata berbinar.
"Gue gregetan sama lo. Harusnya lo bahagia kek, seneng kek, histeris kek. Kok lo malah biasa aja ditembak sama Bastian. Datar, flat," Ovie mengomel yang membuat Kania tertawa.
"Vie, gue emang seneng. Tapi gue nggak norak kayak lo," jawab gadis itu sambil menunjuk Ovie dengan sedotan.
Ovie menggerutu kesal. Sementara Kania membuka ponselnya karena sebuah pesan masuk. Senyumnya langsung terbit ketika melihat nama Bastian di layar.
Bastian :
Jangan lupa makan sebelum ada kelas. Nanti aku jemput, oke?Kania :
Siapp, Mas PacarBastian :
LebayKania menutup ponselnya dan langsung mendapati ekspresi Ovie yang menatapnya lekat. "Lo bisa senyum-senyum di awal-awal pacaran. Tapi nggak di pertengahan nanti," ucapnya.
Kania terkikik geli. "Halah, bilang aja Ryan nggak romantis sama lo, iya, kan?" gadis itu mengangkat alis. Ovie melotot kemudian menginjak kaki Kania.
"Dulu Ryan juga romantis. Sekarang boro-boro romantis, chat aja kadang suka kelepasan pakai 'gue-lo', apalagi ngobrol," keluh Ovie yang berhasil membuat Kania tertawa renyah.
"Well, poor you," Kania mengangkat bahu sambil meredakan tawanya. "Ya, tapi seenggaknya gue dan Ryan nggak pernah berantem," ucap Ovie.
***
Kania menutup pintu kelas, ia orang terakhir yang keluar dari kelas karena posisi duduknya di kursi paling belakang. Gadis itu melangkah ke toilet, hendak mencuci muka yang terasa kering selama mata kuliah Pak Agustinus.
Kania melangkah sambil tersenyum menatap ponselnya. Ia asik bertukar pesan dengan Bastian yang hendak menjemputnya.
Ah, ternyata begini rasanya pacaran! Dunia seolah hanya berputar untuk mereka.
"Aduh!" Kania tidak sengaja menabrak seseorang. Ia mengusap kening dan mendongakkan kepala. "Yee, jalan tuh yang bener," ternyata Ryan. Kania memutar bola matanya malas.
"Lo yang harusnya lihat-lihat. Gue bilangin Ovie lo," ancam Kania. Ryan hendak membuka mulutnya, namun orang di sebelah Ryan telah lebih dulu angkat bicara.
"Udah, udah. Kok malah berantem?" ucapnya dengan suara yang sangat familiar bagi Kania. Kania sontak menoleh dan melotot terkejut melihat laki-laki itu.
"Kania? Kania Helena, kan?" tanya laki-laki dengan rambut gondrong itu. Tidak lupa lesung pipi dan kulit coklatnya. Kania sedikit berpikir sambil menyipitkan kedua matanya.
"Gue Ariaz! Temen sebangku lo waktu SMP. Lo masih inget, kan? Gue itu yang suka iseng gunting-gunting rambut lo sampai lo nangis!" seru laki-laki bernama Ariaz itu. Kania menutup mulutnya dan menatap Ariaz tak percaya.
Ariaz tertawa melihat ekspresi Kania. "Lo inget, kan?" tanyanya lagi yang kini memegang kedua pundak Kania. Kania mengangguk-angguk antusias.
"Iya, gue inget! Ya ampun, Ariaz, lama nggak ada kabar. Waktu itu lo pindah sekolah, kan? Ke ..." Kania berusaha mengingat-ingat.
"Jogja, masa lupa?" Ariaz menjentikkan jari tepat di depan wajah Kania. Kania tertawa dan mengacungkan jempol. "Iya, iya. Ke Jogja," jawabnya.
"Apa kabar lo? Masih suka main salon-salonan?" tanya Ariaz sambil menunjuk rambut panjang Kania.
"Ya, nggaklah. Trauma gue, gara-gara sering digunting beneran sama lo," jawab Kania sambil tertawa. Ariaz terkikik mendengar jawaban tersebut.
Tawa Kania terputus ketika Bastian datang. "Hey, udah selesai kelasnya?" tanya laki-laki itu.
"Udah kok. Sorry, ya, agak lama. Ini aku ketemu sama temen lamaku. Ariaz, ini Bastian, pacar gue," Kania tersenyum ketika mengucapkan dua kata terakhirnya.
Ariaz mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar. Begitu juga Bastian.
"Oke, daritadi gue jadi kambing di sini," ucap Ryan yang daritadi hanya diam menyimak. Kania tertawa pelan menanggapi pernyataan Ryan tersebut.
"Gue boleh minta kontak lo? Kebetulan gue baru pindah lagi ke Jakarta, siapa tau kita bisa ketemuan lagi," Ariaz mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengulurkan pada Kania.
"Bol-"
Belum sempat Kania melanjutkan ucapannya. Bastian telah mengambil ponsel dari tangan Ariaz dan mengetikkan nomor Kania di sana. Tidak menunggu lama, ia mengembalikan ponsel tersebut.
"Udah, kan?" Bastian mengangkat sebelah alis. Baik Kania, Ariaz, dan Ryan saling berpandangan.
"Uhm, ya udah. Gue duluan, ya. Bye, Ariaz, Ryan!" Kania menarik tangan Bastian menjauh dari sana.
Sampai di tempat parkir, Bastian melepas genggaman tangan Kania. "Kamu kok mau-mau aja dimintain nomor telepon sama dia?" tanya Bastian.
"Bastian, dia itu cuma mau meet up kok. Bukan apa-apa," jawab Kania sambil membuka pintu mobil. Bastian menghela napas dan masuk ke pintu sebelahnya.
"Lagian aku sama dia itu temen waktu SMP. Wajar, kan, kalau mau meet up?" tanya Kania yang kini menarik seatbelt.
"Hm, iya," jawab Bastian sekenanya, ia menyalakan mesin mobil. "Tapi jangan keseringan meet up sama dia," lanjutnya. Kania menoleh dan tersenyum lebar, ia gemas dengan perkataan Bastian. Ia juga baru tahu bahwa Bastian bisa bersikap seperti itu.
"Kok senyum?" Bastian melajukan mobil, ia masih sedikit kesal dengan Ariaz. Sementara Kania menggelengkan kepala sambil menahan tawanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...