Sampai kapan aku harus bertahan dengan kebohonganmu?
***
Sinar mentari siang itu terasa sangat membakar kulit. Orang-orang berlalu-lalang di jalanan Kota Jakarta yang kian panas. Ada yang menggunakan payung, kacamata hitam, atau topi. Semuanya berusaha menghindar dari panasnya mentari di langit. Termasuk Bastian, laki-laki itu melangkah di trotoar jalan sambil sesekali membenarkan topi abu-abunya.
Bastian menyeberangi jalan raya dan masuk ke dalam supermarket. Ia membeli beberapa makanan instan sambil menyejukkan tubuh dari udara panas di luar sana. Setelah semua keperluannya telah terbeli, ia segera membayar dan kembali keluar supermarket.
"Bastian?" suara Ryan terdengar dari arah belakang. Bastian sontak menoleh dan sedikit terkejut. "Hey, Bro," Bastian menepuk pundak kanan Ryan untuk menetralkan rasa terkejutnya.
"Gue masih ada urusan lain nih. Gue duluan, ya," Bastian langsung mengambil langkah cepat menjauh dari sana.
Sejak dua minggu yang lalu ia memutuskan untuk menyewa apartemen. Tentunya ia telah mengantongi izin dari sang Papa. Entah mengapa laki-laki itu sedang ingin menjauh dari kehidupan lamanya.
Bastian sampai di depan pintu apartemen, ia masuk dan melepas topi. Tubuhnya ia rentangkan di atas kasur sambil menghela napas panjang. Bastian menatap langit-langit kamar apartemen dengan tatapan kosong. Terlintas wajah Kania di benaknya.
Bastian mampu memastikan bahwa dirinya rindu melihat wajah gadis itu, rindu mendengar ocehannya, serta rindu merasakan genggaman tangannya. Laki-laki itu tersenyum, sesaat kemudian ia memudarkan senyumannya. Teringat ucapan Kania yang mengatakan bahwa setiap melihat Bastian, selalu ada Baskara di sana.
Apakah salah jika ia ingin dicintai sebagai Bastian? Bukan sebagai Baskara. Egois? Ya, tapi itulah perasaannya sekarang. Ia hanya ingin dicintai sebagai seorang Bastian Adhikara oleh Kania.
***
Kania mengetuk daun pintu rumah di hadapannya. Gadis itu juga berusaha memencet bel di samping daun pintu. Harold yang mendengar suara ketukan dan bel langsung melangkah membuka pintu rumahnya.
"Loh? Kania?"
"Hey, hm ... Bastian ada?" Kania mengintip melalui celah pintu yang terbuka. Ia kemudian beralih menatap Harold yang terlihat berpikir. "Nggak ada. Dia udah dua minggu nggak pulang," jawaban Harold berhasil membuat Kania tercengang.
"A-apa? Tapi ... Tapi dia masih bales chat gue kayak biasanya kok," balas Kania, ia membuka ponselnya dan menunjukkan hasil chat dirinya dan Bastian semalam. Harold menggaruk kepalanya.
"Kayaknya dia lagi menghindar, maybe dia butuh waktu buat sendiri," jawab Harold pelan. "Masuk?" laki-laki itu membuka pintu lebih lebar. Namun, Kania menggelengkan kepala dan kembali memakai flat shoes nya di dekat tangga teras.
"Lo tau apartemennya Bastian di mana?" tanya Kania sebelum berpamitan. Harold menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Kania berdecak dan tersenyum terpaksa pada Harold. "Ya udah, gue balik, ya."
Kania melangkah pergi dari hadapan Harold. Kepalanya dipenuhi oleh kalimat-kalimat Bastian yang mengatakan bahwa laki-laki itu ragu dengannya. Rasanya sulit membuka hati untuk Bastian.
Kania :
Bas, lo di mana?Tidak menunggu lama, Bastian sudah membaca pesannya. Bastian selalu begitu, selalu menjadikan Kania prioritasnya semarah dan sekesal apapun ia pada Kania. Namun, bagi Kania itu masih belum cukup. Gadis itu tersenyum miring melihat balasan dari Bastian.
Bastian :
Gue di rumah, NiBohong, Bastian bohong. Laki-laki itu menghilang dari kehidupan Kania. Napas Kania tersendat, sakit sekali hatinya. Ia mulai menangis, air matanya tidak mampu ditahan kembali.
Kania menghentikan langkahnya dan terduduk di sebuah kursi. Tangannya menari di atas ponsel kembali dengan sedikit bergetar.
Kania :
Gue tadi ke rumah loSementara itu Bastian yang sedang menonton televisi di atas kasur langsung menegakkan posisi duduknya. Ia menelan ludahnya, pesan dari Kania masuk kembali.
Kania :
Tapi kata Harold lo nggak di rumahBastian mengusap wajah. Ia melihat ke ponselnya kembali.
Kania :
Lo nggak perlu bohong, Bas. Gue kecewa banget sama loBastian segera mengetikkan jawabannya. Namun, ponsel Kania sudah tidak aktif.
Bastian :
Nia, gue nggak bermaksud buat bohong. Angkat telepon gue, NiPesannya tidak terbalas dan panggilan teleponnya pun tidak diangkat. Ia menghela napas berat.
"Iya, Ni. Gue cuma bisa bikin lo kecewa," bisik Bastian dengan penuh penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...