Bersamamu memang rumit, tapi tanpamu lebih sakit
***
Kania mencoba membuka pintu kaca minimarket di hadapannya. Ia masih mencoba mendorong pintu tersebut. Namun, pintunya macet, ia berdecak kesal.
"Itu pintunya ditarik, bukan didorong," ucap seorang laki-laki dari arah belakang. Kania terkejut dan menoleh. Ia tersenyum sopan dengan sedikit malu.
"Thanks, ya," balas gadis itu. Harold mengangguk dan mempersilakan Kania masuk terlebih dahulu.
"Lo kenapa?" Harold mengangkat sebelah alis, ia kini berjalan disamping Kania. "Gue nggak apa-apa kok," Kania mengambil keranjang belanja di dekat kasir. Harold masih mengikutinya.
"Nggak apa-apa gimana? Lo cemberut gitu daritadi," balas Harold, laki-laki itu mengambil sebotol minuman berjenis kopi di dalam kulkas. Kania hanya tersenyum simpul dan memilih untuk melangkah ke rak sebelah.
"Kamu ada masalah?" tanya Harold lagi, laki-laki itu ternyata masih mengikuti Kania. Kania sedikit terkejut ketika berbalik dan menabrak tubuh atletis Harold. Ia juga heran, tiba-tiba Harold 'ber-aku-kamu' kepadanya.
"Gue nggak apa-apa. Beneran," jawab Kania, ia menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga. Harold menatap Kania cukup lama, kemudian mengangguk mengerti. Ia mengambil sebungkus roti, sekotak susu, dan biskuit lalu memasukkannya ke dalam keranjang milik Kania.
"Kok ditaruh di sini?" tanya gadis itu, ia hendak protes. Harold menepuk pundak kanannya. "Lo harus terbiasa ngemil yang sehat. Lihat yang lo beli, kalau lo sakit gimana?" balas Harold, tanpa menunggu jawaban dari Kania, Harold melangkah pergi dari sana menuju kasir.
Kania terdiam dan sedikit tersenyum menatap punggung Harold. Ia mengikuti laki-laki itu menuju kasir.
***
Kania menyesap kopinya yang tersisa setengah di cangkir. Sore itu Harold berkunjung ke rumahnya, aneh memang, mereka tidak begitu kenal. Namun, Harold bertindak seolah mereka telah lama saling mengenal.
"So, lo di rumah sendirian?" tanya Harold, ia sedikit memundurkan kursi yang diduduki di teras rumah Kania. "Nggak, orang tua gue juga tinggal di sini, tapi sering ke luar kota. Biasalah, urusan kerjaan," jawab Kania. Sementara Harold mengangguk-angguk mengerti. Kemudian, ia berdeham pelan.
"Lo keliatan deket, ya, sama Bastian," ucapnya yang membuat Kania memudarkan senyumnya. Sudah empat hari ia tidak menjawab atau mengangkat panggilan telepon dari Bastian.
"Ya ... Namanya juga temen," jawab Kania sekenanya. "Dia kakak tingkat lo, ya, di kampus?" lanjut gadis itu. Harold terlihat berpikir dan kemudian menggelengkan kepala.
"Sebenernya bukan. Gue juga nggak tau kenapa dia ngaku-ngaku kalau dia itu kakak tingkat gue. Tapi ... Dia itu kakak tiri gue," jawab Harold. Penjelasan itu cukup membuat Kania terkejut hingga tersedak.
"Lo nggak apa-apa?" Harold reflek mengusap punggung Kania perlahan. "Dia kakak tiri lo?" tanya Kania masih dengan wajah terkejut. Harold membalas pertanyaan tersebut dengan anggukan kepala.
Kania terdiam, ia tidak pernah tahu akan hal itu. "Kok bisa?" tanya Kania lagi, nada suaranya terdengar bergetar. Terlalu banyak yang ia tidak ketahui, terlalu banyak.
"Berarti Bastian anak tirinya Pak Agustinus?" lanjut gadis itu. Ia membayangkannya saja sudah ngeri, dosen killer itu ternyata ayah dari Bastian. Kengeriannya bertambah ketika Harold mengangguk membenarkan.
"Bastian itu ... Dia punya kembaran, namanya Baskara yang tinggal di Jakarta, sementara Bastian sendiri tinggal di Australia. Mereka pisah begitu karena orang tuanya cerai sewaktu mereka masih usia tiga tahun. Mamanya tinggal di Jakarta sama Baskara dan Papanya punya bisnis di Australia, jadi Bastian tinggal di Australia sama Papanya."
Harold menatap Kania sejenak. "Kejadiannya waktu Bastian dan Baskara sama-sama kelas enam SD. Baskara dan Mamanya mau pindah juga ke Australia. Tapi, pesawat yang ditumpangi sama Baskara dan Mamanya hilang kontak dan ditemukan dalam kondisi hancur. Mereka nggak selamat."
Kania menahan air matanya yang sudah siap meluncur ke pipinya. Ia tidak kuat mendengar cerita Baskara yang telah tiada. "Gimana dengan Papanya?" tanya Kania dengan nada bergetar.
"Papanya yang baru dengar kabar itu langsung panik dan buru-buru nyusul ke Indonesia. Tapi ... Sayang, Papanya kecelakaan di jalan karena terlalu panik. Kecelakaan tunggal. Bastian terpukul banget waktu itu. Dia merasa dia juga harus ikut mati, dia stress berat."
"Papa gue yang akhirnya bersedia buat ngerawat Bastian, kebetulan Mama gue juga salah satu korban kecelakaan pesawat itu. Otomatis Papa gue tau banget gimana rasanya jadi Bastian. Bastian mondar-mandir sendirian di bandara buat cari tau informasi kecelakaan pesawat itu, sambil berharap Mamanya atau Baskara masih ditemukan hidup."
Harold menghela napas sebagai penutup dari cerita menyakitkannya tentang Bastian dan keluarganya. Kania akhirnya tidak tahan lagi, air matanya berjatuhan. Semuanya tampak sangat seperti mimpi buruk baginya. Apalagi ... Bagi Bastian.
Ponsel Kania bergetar tanda pesan masuk.
Bastian :
Kania, gue tadi ke rumah lo, tapi lo lagi sama Harold. Next time deh gue ke situ lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...