Adakah kebohongan yang bermuara pada kebahagiaan?
***
"Thanks, ya, Bas, buat hari ini. Gue seneng banget!" Kania melepas seatbelt nya sambil tersenyum manis menatap Bastian.
"Santai. Gue boleh ngomong sesuatu sama lo sebelum lo turun?" tanya Bastian, ia menahan tangan Kania yang hendak membuka pintu mobil. Kania mengurungkan niat tersebut, ia kembali menoleh menatap Bastian tepat di bola mata.
"Kalau seandainya lo kehilangan orang yang lo sayang. Dan ... Orang itu nggak akan kembali lagi ke lo, apa yang akan lo lakuin?"
Pertanyaan itu membuat Kania menyipitkan kedua matanya. Ia heran dengan pertanyaan itu, apa maksud Bastian bertanya hal tersebut kepadanya?
"Ya ... Gue akan lepasin dia. Lo harus tau, orang yang nggak mau hadir di hidup kita adalah orang yang nggak pantas dipertahankan," jawab Kania. "Is it clear?" lanjut gadis itu sambil mengangkat sebelah alis. Bastian terdiam sejenak kemudian tersenyum tipis dan mengangguk.
Bastian membiarkan Kania turun dan masuk ke rumahnya. Sementara dirinya masih diam sambil menatap keluar jendela mobil. Memorinya seolah berjalan-jalan ke masa itu, masa kecilnya dengan Kania yang hanya sebentar. Sangat sebentar.
Bastian membuka kunci layar ponsel, ia menemukan beragam pesan masuk dari Kania. Keduanya baru saja bertukar nomor ponsel.
Kania :
Sana pulang. Hush, hushKania :
Ngapain sih masih di situ?Kania :
Ooh, mau ngerampok, ya?Kania :
Gue telepon satpam nihBibir Bastian yang awalnya tersenyum tipis kini berubah menjadi tawa. Ia membuka jendela mobil dan melihat ke lantai dua rumah di hadapannya. Kania sedang bertopang dagu di balkon kamar. Kedua mata gadis itu terus menatap ke arah mobilnya.
"Iya, Kania. Gue pulang sekarang," jawab Bastian yang membuat Kania tertawa. Bastian menyalakan mesin mobil dan pergi dari pekarangan rumah gadis itu.
***
Kania melakukan rutinitas malam dengan wajah tertekuk, ia terus melakukan scrolling di akun Instagram Bastian. Laki-laki itu menggunakan username yang jauh berbeda dari nama aslinya. Pantas saja selama ini Kania tidak menemukan jejak digital dari Bastian.
Ganteng, Kk
Idaman banget ini siihh
Cakep bener jodoh gue
Udah jomblo, ganteng lagi!
Komentar-komentar tersebut membuat Kania muak. Ia juga memang mengakui wajah Bastian yang menjadi idola semua perempuan. Namun, melihat para perempuan itu menggoda Bastian membuatnya kesal.
"Tunggu, kenapa gue harus kesel?" Kania berbicara pada dirinya sendiri. Ia bangkit dari posisinya yang semula berbaring. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, Kania sontak tersenyum dan segera mengangkat telepon.
"Bas?"
"Hey, cepet banget lo ngangkat telepon," jawab Bastian sambil terkikik geli. Kania menggaruk kepalanya, ia akhirnya berdecak sebal.
"Ya udah, nanti-nanti gue angkat yang lama deh," balas gadis itu. "Eh, jangan dong. Gini, Ni, gue mau ngomong sama lo," ucap Bastian yang berubah menjadi serius. Kania menegakkan posisi duduknya.
"Besok lo ada waktu?" tanya laki-laki itu. "Besok? Ada, sekalian lunch gimana?" tawar Kania sambil melirik ke jadwal kuliahnya esok hari.
"Gimana kalau dinner? Besok gue ada kuliah siang," jawab Bastian. Akhirnya Kania menyetujui, setelah ucapan selamat malam keluar dari mulut Bastian, keduanya segera mematikan sambungan.
Bastian menyimpan ponselnya ke saku celana. "Mau nggak mau lo emang harus jujur ke dia, Bas," ucap Ovie yang sedang menikmati jus jeruknya. Bastian menghela napas panjang, ia memijat kepalanya yang terasa pening.
"Gue nggak tega aja sama Kania. Sebetulnya gue juga belum siap harus ketemu dia sekarang. But ... This is fate, right?" Bastian mengaduk jus alpukatnya dengan sedotan hitam. Ovie mengangguk membenarkan.
"Jangan kelamaan bohongin Kania, gue lebih nggak tega kalau dia terus-terusan dibohongin," balas gadis itu. Ia menyadari bahwa permasalahan ini akan rumit bagi Kania.
Bastian terus berpikir sambil menghabiskan minumannnya. Di kepalanya hanya berputar nama Kania, Kania, dan Kania. Hingga ponselnya bergetar tanda telepon masuk, ia melihat ke layar ponselnya.
"Halo, Yan? Kenapa?" tanya Bastian. "Oh, iya ini bini lo lagi sama gue, nggak gue apa-apain kok," lanjut laki-laki itu yang membuat Ovie tersedak kemudian menginjak kaki kanan Bastian. Bastian melotot ke arah Ovie.
"Oke, gue sampein ke Ovie," Bastian menutup sambungan telepon. "Lo apa-apaan sih? Pake nyebut gue bininya Ryan," Ovie protes. "Lo nggak mau? Kalau nggak mau ngapain pacaran sama dia. Hape lo mati tuh. Ryan nelepon lo daritadi. Gue cabut duluan," Bastian mengambil kunci mobil dan pergi dari sana.
"Aduh, Kania. Bisa-bisanya lo kangen sama cowok model begitu bertahun-tahun," Ovie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...