Kepalsuan adalah cara paling ampuh untuk menabung luka
***
Kania menyampirkan tas selempang berwarna hijau mudanya. Ia melangkah menyusuri koridor kantin sebelum sebuah teriakan nyaring membuat telinganya ingin pecah.
"Kania!" Ovie berjalan terburu-buru dari arah belakang. Kania memutar bola mata sambil memegang telinganya yang terasa sakit. "Apa?" tanya gadis itu dengan memasang wajah malas.
"Kemarin lo ketemu Bastian?" pertanyaan itu langsung keluar dari mulut Ovie. Kania mendadak langsung tersenyum dan mengangguk.
"Iya, ngerencanain pernikahan," jawab Kania bangga. "WHAT?! Are you serious? Yang bener dong, Ni. Lo itu masih kecil," Ovie shock berat. Ia sampai menjatuhkan beberapa buku dari tangannya. Kania tertawa mendengar bahwa dirinya masih kecil di mata Ovie.
"Dan ... Masih banyak yang harus lo kejar, Nia. Lo jangan sembarangan, lo ketemu Bastian juga baru kemarin. Aduh, Kania," Ovie memijat keningnya yang mulai berdenyut.
"Tapi bohong. Lo percaya-percaya aja sih. Yuk masuk kelas," Kania bersenandung sambil melanjutkan langkahnya. Jika tidak banyak mahasiswa lain di sana, mungkin Ovie sudah menggerakkan tangannya untuk menjitak kepala Kania sekuat tenaga.
"Tapi, Bastian nggak ngomong apa-apa gitu sama lo?" Ovie bertanya lagi. Kini mereka tengah menunggu kelas di mulai. "Ya, ngobrol, Vie. Masa diem-dieman?" balas Kania yang membuat Ovie semakin gemas.
"Iihh, maksud gue bukan gitu. Bastian nggak ngomong hal-hal penting gitu ke lo?" Ovie terlihat penasaran.
"Ngomong sih. Katanya dia sekarang udah S-2, terus udah pindah rumah, terus dia juga udah punya banyak plan setelah lulus nanti, terus-"
"Okay, stop it," Ovie lagi-lagi memijat kening. Itu sama sekali tidak penting baginya. "Nanti malam dia ngajak dinner sih. Lo mau ikut?" tanya Kania dengan wajah polosnya.
***
"Hey, Bas! Thanks, ya, udah mau nunggu," ucap Kania sambil menunjukkan senyumannya. "Lo tau sendiri jalanan Jakarta macetnya sampai tujuh turunan," lanjut gadis itu.
Bastian tertawa pelan mendengar celotehan Kania. Namun, ia sibuk memperhatikan gerak-gerik dan wajah Kania. Baginya Kania bukan lagi gadis kecil berkulit kusam yang sering main panas-panasan. Gadis itu sekarang telah jauh berbeda. Jauh lebih ... Ehm, cantik.
"Anyway, ada apa sih? Katanya mau ngomong something?" tanpa dipersilakan terlebih dahulu Kania telah menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.
"Sebelum itu, gue mau tanya. Lo emang suka makan makanan punya orang, ya?" pertanyaan Bastian seketika menghentikan aktivitas Kania yang sudah kelaparan sejak tadi. Gadis itu terdiam membisu dan menyunggingkan cengiran yang membuat Bastian menggaruk kepalanya.
"Sorry, gue kira ini buat gue," Kania menggeser piring berisi nasi goreng menjauh darinya. Sementara Bastian hanya tersenyum simpul sambil mengangkat bahu sejenak. "Well, ternyata lo nggak berubah," timpalnya. Kania ingin menutup wajahnya dengan apapun yang ada di sana asalkan Bastian tidak melihat wajahnya yang sudah memerah. Malu dan salah tingkah kini menghantui perasaannya.
Bastian berdeham sejenak kemudian kedua matanya kembali fokus menatap wajah Kania. Pikirannya langsung bercabang, ia ingin menyampaikan hal penting itu ke Kania. Namun, hati kecilnya kini malah mengkhianatinya dengan mengatakan bahwa ia tidak perlu mengatakan itu.
Bastian menggulung kemeja putihnya hingga ke siku, menambah "kadar ketampanan" yang membuat Kania jatuh-bangun di hadapannya.
"Bas?" Kania menegakkan posisi duduk. Bastian tersadar dari pikirannya yang masih bercabang. "Lo kenapa?" tanya Kania sambil memiringkan kepala.
Bastian menggeleng dan ikut membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. "Jujur, gue mau ngobrolin hal yang penting ke lo. Tapi, menurut gue bukan sekarang waktu yang tepat."
"Lo ... Mau ngobrolin tentang apa? Kenapa sekarang nggak tepat? Terus kapan?" Kania memberondongnya dengan pertanyaan. Kebiasaan itu yang juga tidak pernah menghilang dari diri seorang Kania. Bertanya yang tidak ada habisnya jika sudah penasaran.
"Nggak, bukan hal yang penting. Udahlah, lupain aja. Eh, lo mau pesen apa? Gue pesenin, ya," Bastian bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh. Kania memperhatikan punggung Bastian yang tegap dan kokoh, ia perlahan tersenyum.
Tidak sampai lima menit, wajah Bastian sudah kembali di hadapannya dengan sedikit basah. "Sorry agak lama. Gue tadi ke toilet dulu."
"Bas, lo inget nggak sih, dulu lo pernah ngasih gantungan kunci bentuk kepala kucing ke gue? Dan, bulunya lebat banget. Saat itu gue langsung ngamuk dan ngusir lo dari rumah," Kania memulai ceritanya. Hal inilah yang paling Bastian hindari. Bercerita tentang masa kecil mereka yang singkat. Namun, sangat berarti bagi Kania.
Bukan tidak suka dan bukan juga tidak mau, hanya saja Bastian tidak tahu, apa saja yang Kania lalui bersamanya dulu.
"Padahal kan lo tau sendiri kalau gue takut banget sama kucing. Lo emang parah sih, Bas," Kania tertawa dan mengibaskan rambutnya. Bastian menanggapinya dengan tawa yang sebisa mungkin ia tutupi kepalsuannya.
"Dan, lo inget kan, gue juga pernah dikejar kucing sampai gue jatuh masuk ke parit?" tanya Kania dengan menahan tawa. Ia sangat antusias dengan yang namanya nostalgia. Namun, tidak dengan Bastian. Kini Bastian hanya menghabiskan waktu mereka dengan tertawa dan sesekali menimpali cerita-cerita Kania yang ia tidak tahu kapan kejadian-kejadian itu terjadi.
"Maafin gue, Kania. Gue harus bohongin lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...