Ketika logika dan cinta bersatu, maka gangguan apapun akan terasa semu
***
Bastian tersenyum sendirian di meja makan rumahnya. Ia tersenyum sambil menatap sop ayam, sayur bayam, dan bubur kacang hijau di atas meja. Semua itu Kania yang memasak untuknya tadi siang. Hhm ... Hanya Kania yang berhasil membuat Bastian nampak 'bucin' seperti itu.
Kini, makanan tersebut tersisa sedikit. Perlu Bastian akui bahwa masakan Kania sangat cocok di lidahnya. Ia bahkan sampai tidak memedulikan luka di sudut bibirnya yang berdenyut saat makan.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia membuka laptop untuk menyelesaikan beberapa jurnal. Tangan kanannya meraih sendok di dalam mangkuk sop, ia masih menghabiskan sop pada mangkuk ketiga. Ya, seenak itu.
Pintu rumah terbuka, Harold masuk dengan wajah kusut. Nampaknya ia sedang stres dengan perkuliahan yang semakin berat. Laki-laki itu menatap Bastian sekilas dan melempar tas ke atas sofa.
Harold langsung mengambil nasi dan menyendokkan sop ke mangkuk tanpa bicara. Bastian bangkit dari duduknya sambil membawa laptop. "Tadi Kania yang masak. Gue ke kamar dulu."
Ucapan Bastian membuat Harold terdiam. Gerakan tangannya terhenti, ia heran mengapa Kania bisa masak di rumahnya. Namun, rasa lapar lebih menguasai dirinya. Ia duduk di kursi dan menggulung kaos lengan panjangnya.
Ponsel Bastian tertinggal di meja makan, sebuah pesan masuk ke sana. Harold menoleh ke arah tangga, memastikan Bastian tidak turun kembali ke ruang makan. Ia kemudian meraih ponsel Bastian dan melihat sebuah pesan masuk dari Kania.
Kania :
Bas, thanks ya tadi udah bolehin gue masak di rumah loHarold memutar otak agar ia bisa mengetahui kunci layar ponsel Bastian. Laki-laki itu berdeham dan terus mencoba mencari pola yang tepat. Bibirnya mengulum senyum tipis ketika ponsel tersebut berhasil terbuka.
Harold mengetikkan jawaban dan menyeringai puas.
Bastian :
Sama-sama. Malam ini ada acara? Gimana kalau kita dinner?Kania :
Wow, boleh. Jam 7, ya?Bastian :
Oke, ntar gue jemputSetelah memastikan Kania telah membaca pesan tersebut, Harold menghapus pesan agar Bastian tidak mengetahui bahwa Kania mengajaknya pergi. Satu lagi, Harold memblokir nomor Kania melalui ponsel Bastian. Ia menghela napas panjang dan menyimpan ponsel tersebut ke tempat semula.
Tepat setelah Harold selesai makan, ia mendapati Bastian turun dari lantai dua. Bastian menghela napas lega ketika melihat ponselnya masih di atas meja makan.
***
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Kania tengah bersiap di depan meja rias, polesan make up tipis membuat wajahnya semakin manis. Gadis itu meraih tas di balik pintu kemudian bergegas menuju teras.
Kania memilih sepatu yang akan ia gunakan malam itu. Setelah semuanya siap, ia duduk di kursi teras dan membuka kunci layar ponsel. Matanya menyipit ketika ia melihat profil foto Bastian menghilang.
Kania :
Bas, gue udah siap nih. Lo udah di mana?Kania berdecak kesal ketika melihat ponsel Bastian tidak aktif alias centang satu. Bastian tidak pernah tidak aktif, bahkan laki-laki itu selalu membalas pesan dengan cepat.
Kania menelepon nomor Bastian, tetapi tidak dapat tersambung. Gadis itu terus mencoba menelepon. Namun, hasilnya tetap sama. Ia memutuskan untuk menunggu.
Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, empat puluh menit, satu jam, satu setengah jam. Kania berdesis, ia melihat layar ponselnya yang menunjukkan pukul 20.30.
Kania telah menghubungi Bastian puluhan kali dan mengirimkan pesan ratusan kali. Namun, semuanya sia-sia. Gadis itu memutuskan untuk menekan nomor Ryan.
"Halo, Nia. Kenapa sih? Ganggu aja," suara Ryan yang sedang berada di tempat ramai langsung terdengar. "Heh, sembarangan. Gue mau nanya, lo lagi sama Bastian nggak?" Kania bangkit dari duduknya.
"Bastian? Nggak, kenapa?" jawaban Ryan semakin membuat Kania bad mood. "Bastian janji ngajak gue dinner hari ini jam 7. Sampai sekarang dia belum dateng dan handphone nya mati," jelas Kania dengan gerutuan kesal.
"Wait, nggak aktif kata lo? Hey, lima menit yang lalu dia nge-chat gue kok," ucap Ryan. Kania melotot terkejut. "Jadi, gue di block?" tanyanya dengan suara pelan.
Di seberang sana Ryan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gini deh, lo jangan gegabah dulu. Gue coba hubungi Bastian, oke?"
"Iya deh. Tapi bilang aja sama dia, dia nggak usah ke sini. Udah kemaleman juga, gue capek nunggu daritadi, mau istirahat," jawab Kania dengan suara semakin pelan. Ryan memijat pelipisnya dan mengiyakan.
Ryan segera menekan tombol hijau pada nama Bastian. Tepat didering ketiga Bastian mengangkat teleponnya dengan suara kelelahan. Ryan tahu Bastian sedang menyelesaikan jurnalnya yang menguras otak.
"Bro, kasihan itu si Kania," omel Ryan yang membuat Bastian mengerutkan kening. Bastian yang semula duduk bersandar kini menegakkan posisinya. "Maksud lo?"
Ryan memutar bola mata, ia memindahkan ponsel dari telinga kanan ke telinga kiri. "Lo janji sama Kania jam 7, kan? Kania nungguin lo dari jam 7, Bas," jelas Ryan yang semakin membuat Bastian tidak mengerti.
"Gue nggak ada janji apa-apa, Yan, sama Kania. Sumpah," Bastian memasang wajah serius sambil mengingat-ingat. "Udah gue duga. Kania kesel, dia hubungin lo daritadi tapi lo nggak aktif, lo block dia?" pertanyaan Ryan langsung membuat Bastian menutup telepon.
Bastian segera mengecek kontak Kania. Ia mengusap wajah ketika mengetahui bahwa Kania terblokir di ponselnya. Laki-laki itu mengatur napas serta menenangkan diri karena pikirannya hanya tertuju pada Harold.
"Sabar, sabar, Bas," Bastian berbisik, mencoba membuat hatinya tidak dikuasai emosi. Ia heran dengan perubahan sikap Harold yang sangat drastis. Adiknya itu seolah menjadi lebih mudah dikuasai amarah dan kerap usil dengan hubungan Bastian juga Kania.
"Harold, Harold," Bastian berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Pusing memikirkan adiknya itu.
***
"Menurutku Harold itu bahaya banget deh," Ryan membuka percakapan bersama Ovie. Mereka tengah berada di restoran tak jauh dari kampus. Ovie yang mendengar itu langsung mengangkat wajah.
"Yes, bejat banget. Aku nggak habis pikir dia bisa mukulin Bastian," ucap gadis itu sambil menusuk kentang dengan garpu. Ryan menggelengkan kepala menanggapi perkataan tersebut.
"No, no. Kejadian itu udah lewat. Semalem Harold sengaja ngajak Kania dinner pakai handphone Bastian, terus nomor Kania di block, dan chat nya dihapus. Kania nungguin sampai jam setengah sembilan!" Ryan memijat keningnya yang mulai berkerut pusing.
Ovie melotot kaget. "Seriously? How childish he is!" serunya kesal. Ryan tertawa dan mengangguk membenarkan. "Kamu tau dari mana itu perbuatan Harold?" tanya Ovie lagi.
"Well, siapa lagi yang 'jail' di rumah Bastian, hm?" Ryan balik bertanya sambil mencomot sepotong roti bakar di meja. "Untungnya Kania dan Bastian sama-sama masih bisa berpikir jernih. Barusan sih kata Bastian dia udah ngejelasin ke Kania dan Kania juga paham. Tapi, lama-lama aku agak aware sama Harold," jelas Ryan.
"Iya sih, dia bahaya juga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
Storie d'amorePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...