Aku paham bahwa ketulusanmu hanya untukku. Tapi, aku ragu ...
***
"Kania, ini sarapannya dimakan dulu!" Mama berteriak dari dalam rumah. Sementara Kania membuka pintu utama sambil melirik jam tangan terburu-buru. Gadis itu memakai sepatunya tanpa menggubris panggilan sang Mama.
"Kania!" Mama menarik tas selempang Kania. Kania menoleh kemudian memutar bola mata. "Udah telat, Ma," ucap gadis itu. Ia kemudian berdiri dan menyenggol sebuah buku di meja teras rumahnya.
Kania mengernyitkan kening. Buku ini yang semalam ia cari-cari di kamar, ternyata ada di sana.
"Bastian ..." bisiknya. Ia yakin buku itu semula ada di dashboard mobil Bastian. Gadis itu meneguk ludahnya, entah mengapa ia khawatir Bastian mengetahui bahwa semalam Harold datang ke rumahnya.
Kania segera memasukkan buku tersebut ke dalam tas dan melongo terkejut melihat mobil Bastian terparkir di depan gerbang rumah. Namun, ia lebih terkejut ketika Bastian turun dan bersalaman dengan Mama di luar gerbang.
"Kania nggak mau sarapan dulu tuh, katanya udah telat," ucap Mama sambil melirik Bastian. Bastian memandang Kania dengan mengangkat sebelah alis. "Nggak apa-apa, Tante. Nanti bisa sarapan di kampus," jawab Bastian. Setelah sedikit bercengkerama, Kania masuk ke mobil.
"Lo ngapain jemput gue?" tanya Kania sambil memakai seatbelt. "Emangnya lo nggak kuliah?" lanjutnya. Bastian menyalakan mesin mobil. "Boleh dong gue sekali-sekali jemput lo ke kampus?"
"Ya, tapi kampus kita, kan, beda arah, Bas," jawab Kania. "Nggak apa-apa. Daripada lo naik taksi ntar telat ke kampus dimarahin Pak Agustinus," balas Bastian sambil menahan tawanya. Sementara Kania sudah tertawa lepas.
"Iya, Pak Agustinus emang galak banget!" seru Kania yang masih tertawa. "Galak-galak gitu juga calon mertua lo," sambung Bastian. Kemudian ia teringat Harold. "Kalau lo jadinya sama gue," lanjutnya.
Kania sontak terdiam, ia menoleh sedikit ke arah Bastian. Bastian ikut menoleh ke arahnya sesaat. "Sorry, gue-"
"It's okay. Hhm ... Kita kan temen," potong Kania, ia menekan kata 'temen' agar Bastian tidak berpikir terlalu jauh. Namun, Bastian berdeham dan memberanikan diri untuk menggelengkan kepala.
"Ng-nggak. Gue sayang sama lo bukan sebagai teman, tapi lebih. Dan, ya ... Seperti yang sering gue bilang, lo nggak perlu jawab itu sekarang kok, Ni," jelas Bastian dengan ekspresi wajah menahan malu dan gugup.
"Bas, gue belum bisa mastiin perasaan lo ke gue atau perasaan gue ke lo. Tapi, satu hal yang harus lo tau, setiap gue lihat lo, selalu ada Baskara di situ."
Bastian langsung terdiam mendengar itu. Jadi, selama ini Kania masih dibayangi oleh Baskara. Namun, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Semuanya terjadi karena hati.
***
Bastian menguap lebar dan memasukkan buku-buku catatannya ke dalam tas. Hari itu kelas telah berakhir, ia bukan lagi anak remaja labil yang seusai kelas langsung berjingkrak-jingkrak bahagia.
Usianya sudah menyentuh angka 23 dan selesai kuliah adalah waktu yang tepat untuk membaca buku-buku agar S-2 nya segera tuntas.
Bastian menyampirkan tas ke punggung kanan kemudian melangkah beriringan dengan mahasiswa lain menuju pintu kelas. Tepat di depan pintu, Harold tengah menunggunya. Bastian mengangkat alis keheranan.
"Ngapain lo?" tanya Bastian, ia memasukkan kedua tangan ke saku celananya. "Gue cuman mau minta maaf, Bro, atas kejadian kemarin malem," jawab Harold. Bastian tersenyum miring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...