Kehilanganmu adalah mimpi buruk yang kuharap tidak pernah terjadi
***
Bastian memantul-mantulkan bola basketnya. Ia fokus menatap ring basket dengan keringat bercucuran dari dahi. Sudah hampir satu jam ia berkutat dengan aktivitas tersebut di setiap Minggu pagi.
Bastian melempar bola basket hingga masuk ke ring dengan mulus. Laki-laki itu mengatur napasnya dan tersenyum bangga. "Keren juga gue," bisiknya. Ia kemudian beralih ke pinggir lapangan dan meraih sebotol air mineral.
Setelah meneguk minumannnya hingga habis ia menekan tombol hijau di ponselnya yang menunjukkan nama Kania. Ia menunggu dering telepon hingga berubah menjadi suara yang selalu ingin ia dengar setiap harinya.
"Halo, Bas?" sapa Kania, terdengar suara anak-anak kecil di sekitarnya yang sedang tertawa dan bermain.
"Hey, lo lagi di mana? Nanti siang ada acara?" tanya Bastian. "Suara lo nggak kedengeran. Rame banget di rumah gue. Saudara gue pada dateng. Lo dateng aja deh ke sini. Gue tutup, ya. Bye!"
"Eh, Kania, gue-" Bastian berdecak ketika sambungan telah terputus. Ia mengacak-acak rambutnya. Main ke rumah Kania? Ia kini berada di pusaran kebimbangan. Jujur, ia belum siap ditanya macam-macam oleh orang tua Kania. Ia tidak ingin orang tua Kania juga ikut ia bohongi.
"Gue harus gimana, ya, Kar?" Bastian mengangkat sebuah figura foto berisi keluarganya yang salah satunya adalah dirinya. "Gue ... Nggak sanggup jujur sama Kania. Gue ... Suka sama dia."
***
Bastian terus memandangi rumah bertingkat berwarna putih di hadapannya. Kedua tangannya masih menempel di setir mobil, sudah hampir dua puluh menit ia tenggelam dalam keraguan. Di seberang sana, rumah Kania masih ramai oleh keluarga besarnya.
Bastian masih tidak sanggup untuk ditanya macam-macam. Tidak ada yang mampu mengalahkan rasa resahnya sekarang. Di sisi lain ia sudah berjanji akan datang, namun di sisi lain ia juga tidak ingin semua kebohongannya terbongkar.
Sudah genap enam bulan ia dan Kania saling mengenal, tetapi rasanya ia seolah sudah mengenal Kania luar-dalam. Hingga akhirnya ia enggan jika Kania pergi dari hidupnya.
Bastian membuang napasnya lagi, ia menempelkan kening di setir mobil. Terpejam dan terus berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Kania mengetahui semuanya.
Suara jendela mobil yang diketuk dengan cukup kencang membuat Bastian terkejut. Ia langsung bangkit dari posisinya dan menoleh. Tampak wajah Kania yang sedang tertawa dari luar sana. Bastian menurunkan jendela mobilnya.
"Bas, ngapain di situ? Ayo, turun," ajak Kania, ia kini mencoba membuka pintu mobil yang ternyata masih dikunci. Bastian menelan ludah dan memilih untuk turun.
"Lo kenapa?" tanya Kania yang memasang wajah heran melihat keraguan Bastian untuk turun dari mobil. "Nggak apa-apa kok, gue ... Cuman agak malu aja. Lo lihat tuh, keluarga lo banyak banget. Kayak mau ada acara lamaran aja," Bastian berbisik, ia melihat kerumunan di depan sana dengan pandangan ngeri.
Kania tertawa gemas. "Ya, namanya juga keluarga besar, Bas. Lagi kumpul-kumpul aja. Yuk, masuk," Kania menggenggam tangan kiri Bastian. Bastian semakin gugup, ia merasakan hangatnya genggaman tangan Kania. Hhm ... Rasanya tidak ingin ia lepaskan sampai kapanpun.
Hari itu mungkin akan menjadi hari terbahagia bagi Bastian. Ia bisa mengenal lebih dalam tentang Kania, keluarganya, bahkan sepupu-sepupu jauhnya. Semuanya sangat menghargai kehadiran Bastian di sana. Dan, tidak ada satu pun yang bertanya tentang masa lalunya dengan Kania.
Orang tua Kania, hanya dua orang itu yang belum Bastian temui hingga akhir acara. Rumah Kania memang tidak terlalu luas, namun memiliki taman yang luas di belakang dan halaman rumah. Tidak sekali pun Bastian temui orang tua gadis itu di rumah tersebut.
Bastian menghampiri Kania yang sedang membawa nampan berisi es campur. Gadis itu menyimpannya di meja berwarna putih dekat pintu masuk.
"Kania, orang tua lo ada di rumah?" pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Bastian. Kania menoleh dan mengangguk. "Ada kok, tapi kayaknya lagi di lantai atas. Di atas lagi ada arisan daritadi," jawabnya. Bastian kini mengangguk mengerti. Ia memandangi Kania yang masih sibuk menata minuman sambil sesekali merapikan rambut panjangnya.
"Ikut gue, sebentar aja," Bastian menarik tangan kanan Kania. "Eh, mau ke mana?" Kania mau tidak mau langsung mengikuti langkah Bastian. Bastian mencari tempat yang lebih sepi.
"Apa sih, Bas?" Kania memasang wajah serius. Ia masih membawa nampan yang telah kosong. Di sekelilingnya tidak ada orang lain selain mereka. Bastian menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.
"Gue nggak tau mau ngomong apalagi. Tapi ... Gue pikir gue harus jujur ke lo. Gue nggak mau membohongi lo terlalu lama," ucap Bastian. Kania mengernyitkan kening keheranan. Ia tidak mengerti apa yang sedang laki-laki itu bicarakan.
"Bohong soal apa?" Kania akhirnya bersuara karena Bastian memilih untuk diam. Bastian meraih tangan kiri Kania dan menggenggamnya.
"Lo boleh marah sama gue, benci sama gue, atau apapun itu. Asal gue minta satu hal, setelah gue jujur ... Lo jangan jauhin gue," lanjut Bastian dengan ekspresi wajah yang memelas. Kania semakin heran, ia menggelengkan kepala tidak mengerti.
"Gue tau kok, lo pasti kangen banget sama gue. Kita udah lama nggak ketemu. Gue yang selalu lo anggap teman terbaik di masa kecil lo. Dan, sekarang lo selalu mengenal gue sebagai Bastian Baskara. Iya, kan?" tanya Bastian. Ia menatap lekat-lekat kedua mata Kania. Gadis di hadapannya mengangguk membenarkan hal itu.
"Tapi, Ni. Gue ... " Bastian mencoba menenangkan dirinya sesaat. "Gue bukan Bastian teman masa kecil lo."
Kania sontak membulatkan kedua matanya, ia melepas genggaman tangan Bastian. Kedua matanya meminta penjelasan lebih lanjut.
"Bastian yang lo maksud itu bukan gue. Bastian yang lo maksud udah ... Udah meninggal, Kania. Dia Bastian Baskara dan gue Bastian Adhikara. Gue dan dia kembar," Bastian menutup ucapannya tanpa melihat ke arah Kania. Ia sempat melihat kedua mata Kania yang mulai berembun.
"Meninggal?" suara Kania terdengar bergetar. Ia tidak percaya dengan penjelasan laki-laki di hadapannya sekarang. Pertanyaan itu langsung dibalas anggukan kepala oleh Bastian.
"Kenapa? Kenapa bisa meninggal? Dan, kenapa lo baru ngomong sekarang? Kenapa lo nggak ngomong sejak awal kita ketemu?" Kania memegang kedua pundak Bastian. Air matanya mulai meluruh dan hal itu membuat Bastian enggan menatap Kania.
"Nama aslinya Baskara, bukan Bastian. Dia kecelakaan pesawat ... Baskara dan orang tua gue ..." Bastian menahan tangisnya. Sungguh, ia juga masih belum bisa menerima kenyataan itu. Kenangan pahit beberapa tahun lalu yang selalu menjadi bayang-bayang kelamnya.
"Gue juga minta maaf sama lo, gue ... Gue nggak bisa jujur dari awal. Sejak pertama gue lihat lo, lo yang selalu ceria dan semangat ceritain masa kecil lo dan Baskara. Itu semua bikin gue nggak tega buat jujur."
"Gue juga nggak mau kehilangan lo. Gue mau lo mandang gue sebagai Bastian Adhikara. Please, jangan jauhin gue," Bastian menarik Kania ke dalam pelukannya. Namun, Kania menolak untuk itu, ia melepas pelukan Bastian dan memilih untuk pergi, masuk ke dalam rumah.
Kania meninggalkan Bastian yang juga kalut dengan keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...