ELEVEN

254 127 71
                                    

Adakah sedikit saja rasa untukku?

***

"Good morning, Sweetheart!" Ryan berteriak tepat di telinga kanan Ovie. Ovie terkejut dan menggaruk telinganya yang kini berdengung. Sementara Ryan langsung duduk di kursi kosong di hadapan kekasihnya.

"Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak?" Ovie akhirnya protes, Ryan yang sedang membuka ponselnya hanya menunjukkan cengiran menyebalkan. Ovie memutar bola matanya malas.

"Tumben kamu sendirian. Kania masih belum dateng?" tanya Ryan, laki-laki itu kini membuka laptop di atas meja. Ovie melirik jam yang melingkar di tangannya.

"Daritadi aku telepon nggak diangkat. Kayaknya dia agak telat dateng ke kampus," jawab Ovie. Ia mencoba menghubungi Kania kembali. Namun, tetap sama, Kania tidak mengangkat teleponnya.

"Oh, pantesan tadi di jalan aku lihat Kania. Dia lagi sama Bastian ke pemakaman," jelas Ryan. Ovie melotot terkejut. "Ngapain? Siapa yang meninggal?" ia langsung bangkit dari duduknya.

"Ya, mereka pasti mau ke makam Baskara dong, Vie. You know it," Ryan meraih kedua tangan Ovie agar ia kembali duduk dan tenang. Ovie menganggukkan kepala dan menghela napas lega, ia mengira terjadi sesuatu dengan Kania.

***

Kania duduk dan terdiam di samping batu nisan sahabat masa kecilnya yang sering ia panggil dengan sebutan Bastian. Kini di batu nisan tertera nama Bastian Baskara. Gadis itu membaca tanggal Baskara meninggal, tanggal itu tepat satu hari setelah Baskara diantarkan pulang olehnya dan sang Mama.

"Bas ..." Kania berbisik sangat pelan, bahkan suara embusan angin jauh lebih terdengar dari suaranya. "I miss you so much," lanjutnya, ia menaburkan kelopak bunga berwarna merah. Namun, kedua matanya tetap tegar, ia tidak menangis.

Kania menghela napas panjang dan kembali menatap batu nisan Baskara. Mengusapnya perlahan dan mengecupnya singkat. Kania memejamkan kedua mata sambil menyandarkan kening di ujung batu nisan tersebut. Ia ingin merasakan hangatnya pelukan Baskara kecil, ingin melihat kedua matanya, menyentuh tangannya, atau mengacak-acak rambutnya.

Sementara di hadapannya, Bastian hanya mampu terdiam sambil menatap Kania sendu. Seluruh hati Kania telah terjatuh pada Baskara dan Bastian paham akan hal itu. Melihat Kania yang tidak seceria biasanya seperti itu semakin membuatnya menyesal.

Bastian menarik Kania dalam pelukannya. Namun, Kania menolak, gadis itu tetap tidak ingin pelukan lain selain dari Baskara. Bastian mencoba mengusap pelan pundak kiri Kania, tetapi gadis itu menepisnya.

"Lo boleh anggap gue sebagai Baskara," ucapan Bastian berhasil membuat Kania terlepas dari batu nisan Baskara.

"Lo bukan Baskara, lo orang lain," balas Kania telak, ia membuat Bastian terdiam dalam dinginnya angin hari itu. "Gue nggak pernah sekecewa ini sama orang. Gue kecewa karena lo hadir dengan berpura-pura jadi Baskara," lanjut Kania, kini kedua matanya mulai berair.

"Lo tau sendiri, kan, sepenting apa Baskara buat gue?" tanya Kania dengan suara bergetar. Bastian masih diam, ia semakin merasa menyesal. "Setiap gue lihat lo, selalu ada Baskara di mata lo. Tapi, Baskara nggak pernah bohong kayak lo," lanjut Kania lagi. Gadis itu menangis, hatinya sakit dengan kenyataan itu. Sakit karena ucapannya sendiri terhadap Bastian.

"Mendingan lo ke kampus sekarang," ucapan Kania membuat Bastian mengangkat wajahnya. "Lo gimana? Nanti pulang-"

"Stop. Gue bisa sendiri," Kania memotong ucapan Bastian. Bastian terdiam lagi, ia menatap batu nisan Baskara dalam-dalam. Kemudian, ia bangkit berdiri dengan berat hati. Meninggalkan Kania di sini, di tempat sepi begini membuatnya khawatir. Namun, ia yakin Kania akan baik-baik saja.

"Gue pulang dulu," ucap Bastian, ia melangkah pergi dari sana dengan langkah yang cepat. Sementara Kania terus menangis, batinnya tengah kacau sekarang, ia merasakan sesak luar biasa di dalam hati kecilnya.

Bastian terus melangkah pergi dari area pemakaman, ia masuk ke mobilnya. Laki-laki itu memandang area pemakaman yang sepi. Di dalam sana ada Kania yang tengah menangis dan kecewa.

"Gue sayang sama lo, Ni," gumam Bastian, suaranya terdengar pelan dan lirih.

***

Harold memutar pulpennya di tangan kanan sambil terus membaca buku catatan tebal di hadapannya sekarang. Suasana kantin kampus cukup ramai ditambah dengan gerimis yang mulai turun di luar sana. Minggu ini sudah masuk minggu UAS, minggu yang dianggap melelahkan bagi sebagian mahasiswa.

Bastian datang dengan membawa minuman dingin. Ia duduk di kursi depan Harold. Harold mengangkat wajah, kedua alisnya terangkat.

"What happened? Tumben lo nyamperin gue di kampus," ucap Harold sambil menutup buku catatannya. Laki-laki itu menyesap jus jeruknya yang tersisa sedikit.

"Gue bingung," ucap Bastian, ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Mirip seperti orang yang sedang stress. Harold tertawa mendengar keluhan tersebut.

"Man, lo jurusan Manajemen. Gue kedokteran gigi. And, lo S-2, gue S-1. Kalau lo mau ngeluh urusan kuliah. Gue nggak ngerti apa-apa," jelas Harold. Pasalnya ia terkadang mendengar keluhan Bastian tentang kuliahnya yang semakin rumit. Ditambah dengan kata-kata berbau ekonomi yang sama sekali sulit Harold pahami.

Bastian berdecak dan menggelengkan kepalanya. "Bukan itu, ini soal Kania."

Harold menyipitkan kedua matanya mendengar nama itu disebut. "Jangan bilang lo lagi ada masalah sama dia," ucapnya yang terdengar seperti sedang menebak-nebak. Bastian menghela napas dan mengangguk sebagai jawaban.

"Weekend kemarin lo ke rumahnya Kania, kan?" tanya Bastian yang sukses membuat Harold tertegun. Namun, Harold tetap mengangguk membenarkan.

"Gue dateng ke rumah Kania, tapi lagi ada lo. Jadi, gue pulang lagi. Dia ada cerita apa sama lo?" Bastian bertanya lagi.

"Nggak ada. Cuman ngobrol-ngobrol biasa aja," jawab Harold sambil mengangkat bahu. Mendengar itu Bastian mengangguk paham, Kania tidak menceritakan masalahnya kepada Harold.

"Emangnya kenapa, Bas? Lo resah banget. Any problem with her?" Harold menegakkan posisi duduknya. Menatap Bastian lebih dalam.

"Hm, nothing," jawab Bastian. Harold tertawa pelan. "Bohong. Lo berdua pasti ada masalah, right?"

Bastian malas menanggapi itu, ia memilih pergi dari kantin dengan perasaan bercampur aduk. Pikirannya didominasi dengan nama Kania.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang