THIRTY FIVE

141 62 29
                                    

Ketika kehilangan semakin terasa nyata, aku akan pastikan bahwa itu adalah kenyataan yang semu

***

Pernah merasakan memakan mie instan tanpa bumbu? Atau, memakan sayur bayam tanpa garam?

Ya, kira-kira seperti itulah hidup Kania sekarang, ia hanya menggunakan waktunya untuk kuliah-pulang, kuliah-pulang. Gadis itu enggan untuk mampir ke mana-mana. Bahkan, Ovie sudah membujuknya berkali-kali untuk hang out. Namun, sahabatnya itu tetap tidak mau.

"Aku bingung banget!" keluh Ovie pada Ryan yang sedang asyik menonton pertandingan basket di televisi. Mereka mengerjakan tugas akhir semester dua di rumah Ovie, namun itu hanya sekadar rencana ketika satu jam yang lalu Ryan menyalakan televisi.

"Why, Babe?" tanya Ryan sambil terus fokus ke layar di hadapannya. "Ituuu, si Kania jadi murung banget. Dia udah hampir satu semester nggak hang out, nggak mau diajak nge-mall, nggak mau ke salon, nggak mau ke mana-mana pokoknya!"

Ryan mengangguk-angguk mendengar ocehan Ovie. "Bahkan, liburan semester kali ini dia nggak ada rencana keluar rumah sama sekali!" lanjut Ovie heboh. Ia menggoyangkan pundak Ryan saking gemasnya.

"So?" Ryan mengangkat sebelah alis, matanya terus menatap pertandingan yang kian memanas. Ovie berdecak kesal, ia kemudian meraih remot dan mematikan televisi.

"Ovie ... Aku, kan, lagi nonton," Ryan memelas, ia akhirnya menoleh. "Lebih penting nonton daripada dengerin aku ngomong?" Ovie balas menatap Ryan dengan cemberut.

"Iya, iya, aku denger, Vie. Yang harus kita lakuin sekarang itu bujukin Kania supaya dia nggak murung lagi," ucap Ryan, tangannya berusaha meraih remot dari tangan Ovie. Ovie menghindar, ia menyimpan remot di belakang punggung.

"Udah, Ryan. Kalau itu nggak usah kamu kasih tau."

"Ya udah. Itu, kan, hak Kania. Kita jangan ikut campur. Kalau dia marah, emangnya kamu mau?" ucapan Ryan membuat Ovie terdiam.

***

"Kania," suara panggilan seseorang membuat Kania menoleh, ternyata Harold. Laki-laki itu membawa sebuah kotak yang dibungkus paper bag dan memberikannya kepada Kania.

"Lo kok masih di kampus?" tanya Harold sambil memosisikan dirinya untuk duduk di bangku kantin sebelah Kania.

"Iya, gue lagi mager aja sih. Lo sendiri kok bisa ada di sini?" tanya Kania, ia membuka paper bag yang diberikan oleh Harold. "Gue 'diutus' sama Bastian buat kasih lo itu," jawab Harold diiringi dengan gelak tawa.

"Eh, dibukanya di rumah aja kata Bastian," Harold menahan gerakan Kania. Kania memutar bola mata dan menyimpan benda itu ke pinggir meja.

"Minggu depan Bastian wisuda," ucap Harold. Kania diam mendengar itu, ia menunduk. Bastian, laki-laki itu sudah enam bulan tidak menghubungi atau menemuinya.

Ia hanya memberikan banyak barang-barang yang Kania inginkan melalui Harold. Mulai dari sepatu, hoodie, buku, earphone, alat make up, boneka, dan sekarang entah apa isi paper bag itu. Kania juga heran dari mana Bastian tahu barang yang sedang dirinya inginkan.

"Thanks buat infonya," jawab Kania pelan. "Oh, iya, 'pengutus' gue juga bilang ke gue. Katanya, kalau lo datang ke wisuda dia, itu tandanya lo masih cinta sama dia. Tapi, kalau nggak, itu tandanya lo udah sama sekali nggak cinta," jelas Harold. Kania tersenyum singkat dan meneguk ludah.

Gadis itu paham dan mengangguk ragu. "Iya, Harold. Makasih lo udah mau banyak banget direpotin," ucapnya. Harold tertawa dan mengacungkan jempol, ia bangkit dari duduknya.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang