THIRTY

156 46 5
                                    

Hujan mampu membasahiku, tetapi pelukanmu mampu menghangatkanku

***

"Aduh, Kania. Lo sama Bastian banyak banget dramanya deh! Heran gue," Ovie menggaruk belakang kepalanya dengan gusar. Ia terlihat ikut frustrasi dengan permasalahan dua sejoli tersebut.

Kania menelan ludah, ia mengaduk spaghetti di hadapannya tanpa memakannya sama sekali. Pikirannya hanya tertuju pada kejadian semalam bersama Bastian. Laki-laki itu sangat membingungkan baginya.

"Gue juga bingung. Masalahnya itu ada di gue atau Bastian?" tanya Kania pelan. Ia mendengus setelahnya, pikirannya kembali melayang saat Bastian semalam mengatakan bahwa mereka perlu jarak untuk sementara.

Lalu, apa maksudnya itu? Perlu jarak untuk sementara? Bukankah itu jauh lebih menyiksa?

"Kapan lo sama Bastian rencana ketemu lagi?" tanya Ovie, ia kini sudah jauh lebih tenang setelah menyeruput green tea miliknya. Kania berpikir, mulutnya berdesis pelan.

"Nggak tau," akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Kania. Ovie tertawa miris, kepalanya digelengkan saking mirisnya. "Selamat deh, selamat menikmati kegalauan yang berkepanjangan," gumamnya.

Kania mengangkat wajah. "Enak aja, gue nggak galau," bantahnya yang berhasil membuat Ovie tertawa lagi. "Nanti, sekarang belum. Lagian apa alasan lo nggak galau? Apa karena Ariaz, hm?" pertanyaan Ovie seolah memberikan tamparan keras untuk Kania.

"Ariaz?" bisik gadis itu. Ariaz yang selalu ada membantunya, memberikannya senyuman, dan menemaninya di saat sepi. Laki-laki itu mungkin bukan siapa-siapa bagi Kania. Tapi ... Rasanya ada yang aneh.

"Mungkin Bastian nggak suka lo terlalu deket sama Ariaz, Nia," jelas Ovie setelah menghela napas panjang. Kania masih mengerutkan kening, menatap Ovie keheranan. "Bastian juga pernah bilang begitu. Tapi, gue sama Ariaz nggak ada apa-apa. We're friends," jawabnya.

"Really? Temen? Gue pikir Ariaz punya perasaan lebih ke lo dan lo nggak sadar," balas Ovie sedikit kesal. Kania terlalu tidak peka dengan perasaan laki-laki itu, tidak peka dengan perasaan Bastian dan juga Ariaz. Semuanya sangat merepotkan bagi Ovie.

Belum sempat Kania menjawab, sebuah pesan masuk ke ponsel gadis itu. Ia membuka kunci layar dan membacanya.

Bastian :
Urusan gue di Aussie belum selesai. Gue balik ke sana. See you

Kania melotot terkejut, jantungnya memompa lebih cepat. Ia mengulang kalimat yang dikirimkan Bastian, memastikan Bastian tidak salah ketik. Lantas, matanya mulai memanas.

"G-gue? Bastian bilang 'gue'? Maksudnya apa?" gumam Kania dengan suara bergetar. Sementara Ovie langsung merampas ponsel milik Kania dan membaca pesan dari Bastian yang masuk. Mulut Ovie sedikit membuka tercengang membaca pesan tersebut.

"Ada yang masuk lagi dari Bastian," Ovie memberikan ponsel kembali ke Kania.

Bastian :
Lo baik-baik, ya, di Indo :)

Saat itu juga Kania merasakan hatinya sangat sakit. Perasaannya seolah dihantam oleh ombak besar yang menyakitkan. Ia hancur, pertahanannya runtuh seketika. Kania mengusap ujung mata yang kembali mulai berair.

"So, it means ... Broke up?" bisiknya dengan nada sangat rendah. Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan penting tersebut, bahkan dirinya sendiri sekali pun.

***

Kania membenarkan helaian hitam di kepalanya yang tertiup angin sore. Cuaca sore itu sangat mendung dan kelabu. Gadis itu memeluk dirinya sendiri dalam kesepian dan kedinginan.

Kania menatap sekitar, ternyata hanya dia yang ada di area pemakaman. Selebihnya kosong dan hening. Langkah kakinya terhenti ketika melihat batu nisan bertuliskan nama Baskara. Bibirnya mengulum senyuman pahit dan beringsut duduk di samping gundukan tanah tersebut.

Tangannya perlahan terangkat memberikan doa-doa baik untuk Baskara. Lima menit berselang, gadis itu menaburkan kelopak-kelopak bunga berwarna merah, pink, dan putih. Tiupan angin menggerakkan beberapa kelopak bunga hingga tersebar.

Kania menghela napas panjang dan mengusap batu nisan di hadapannya. Matanya sembap bekas menangis sejak siang tadi. Hidungnya pun memerah.

"Baskara," bisik Kania, ia tidak lepas memandang batu nisan tersebut. "Gue lemah banget, ya?" lanjutnya dengan senyum miring, mengasihani diri sendiri yang sudah tidak karuan.

"Gue ... Gue bukan perempuan kuat, gue lemah. Dan, gue juga udah nyakitin Bastian," cerita Kania, mendadak hatinya kembali tergores oleh luka yang lebih dalam. Namun, ia sudah kehabisan air mata untuk dikeluarkan.

"Bastian ... Dia baik banget sama gue. Dia tulus, nggak banyak nuntut, dan banyak kesempurnaan lain yang dia punya," suara Kania mulai serak, ia memejamkan kedua matanya sejenak.

"Sekarang Bastian pergi. Dia menjauh dari gue ... Itu semua salah gue, Baskara," Kania menunduk dalam-dalam. Ia bahkan menempelkan keningnya ke ujung batu nisan. Angin berembus semakin kencang seolah berusaha membalas segala perkataan Kania.

"Lo nggak salah," suara seseorang dari arah belakangnya mengagetkan Kania. Gadis itu segera duduk tegak dan menoleh. Tubuh Ariaz muncul di sana, bersandar ke batang pohon rindang.

Kania menatap Ariaz tidak percaya. "S-sejak kapan lo di situ?" tanyanya gugup. Suaranya sangat kecil dan serak. Ia tidak yakin Ariaz bisa mendengarnya dengan jelas. Ariaz menghela napas dan melangkah mendekati Kania.

Ariaz memakai kemeja hitam lengan pendek dan celana jeans panjang. Rambut gondrongnya ia kuncir dan peci hitam terpasang di kepala laki-laki itu. Terlihat seperti telah menghadiri pemakaman.

"Satu jam yang lalu nenek gue dimakamkan di sini," ucap Ariaz. Kania mengangguk paham. "Gue turut berduka cita," ucapnya dengan berusaha tersenyum meskipun hambar.

Ariaz tidak menjawab, ia hanya diam di samping Kania, menatap sekitar dengan kedua matanya yang tajam. Kania membiarkan Ariaz di sana, ia masih ingin berada di 'samping' Baskara. Menatap batu nisannya dan menaburkan sisa bunga.

Namun, gerimis mulai turun. Kania mengangkat helaian kain hitam di kepalanya hingga menutupi seluruh bagian. Ariaz dengan cepat membuka kemeja hitamnya hingga menyisakan kaos oblong abu-abu polos.

Laki-laki itu melebarkan kemejanya dan melindungi kepala Kania. "Kemeja gue cukup tebel kok buat lindungin lo dari hujan," ucap Ariaz. Kania menoleh dan mengangguk tipis.

"Thanks, gue mau pulang aja, takut semakin besar hujannya," gadis itu bangkit dari duduknya. Ariaz ikut berdiri dan mengikuti langkah Kania menjauh dari makam Baskara.

Di gerbang pemakaman, gerimis mulai berubah menjadi hujan deras. Kania terburu-buru melangkah hingga kakinya terpeleset tanah yang licin dan terjatuh.

"Kania?" Ariaz berlari menghampiri dan membantu Kania kembali berdiri. "Hati-hati," lanjutnya. Pergelangan kaki kanan Kania membiru, ia keseleo.

"Awh," gumamnya saat berusaha berdiri, kaki kanannya sulit digerakkan. Sementara hujan telah mengguyur keduanya. Ariaz menggendong tubuh Kania yang membuat gadis itu terkejut bukan main. Mereka terlihat seperti pengantin baru yang kehujanan di pinggir jalan.

"Eh? Ariaz, ak-"

"Lo nggak bisa jalan sendiri, lo udah kehujanan, kaki lo juga luka," potong Ariaz cepat. Kania hanya bungkam, tidak menjawab. Beruntung letak mobil Ariaz tidak jauh dari gerbang, laki-laki itu membuka pintu mobil dan membantu Kania masuk.

"Baju lo basah banget, Ar," komentar Kania pelan ketika Ariaz telah duduk di kursi kemudi sebelahnya. Rambut laki-laki itu basah kuyup, begitu juga dengan celana dan bajunya. Kania memandangnya dengan tatapan bersalah. Sementara gadis itu tidak sebasah Ariaz, ia masih dihangatkan oleh kemeja Ariaz.

Ariaz menoleh, ia mengambil jaket hijau di jok belakang dan memakainya. Laki-laki itu kemudian menatap Kania dengan sedikit tersenyum. Dengan satu gerakan cepat, Ariaz memeluk tubuh Kania.

"Nggak apa-apa. Demi lo."

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang