Semakin banyak tabungan kebohongan, apakah akan semakin baik?
***
Ryan menutup pintu ruangan Pak Agustinus yang telah kosong. Ia baru saja menyimpan beberapa berkas tugas di dalam ruangan. Selain itu, ia juga merupakan asisten dari dosen senior tersebut.
"Ryan."
Laki-laki setinggi 170 cm itu menoleh dan terkejut melihat Bastian melangkah ke arahnya. "Nyampe juga lo di sini. Tumben banget, mau ngapain?" tanya Ryan sambil bersalaman dengan Bastian yang tertawa mendengar pertanyaannya.
"Gue mau cari Pak Agustinus. Lo asistennya, kan?" Bastian mengangkat kedua alis. "Lo kok kenal sama Pak Agustinus? Jangan bilang lo pindah kampus gara-gara ada Kania di sini?" Ryan melipat kedua tangan setelah sebelumnya membenarkan letak kacamatanya.
"Ya nggaklah, Yan," Bastian tertawa mendengar itu. "Pak Agustinus itu Papa tiri gue, tadi minta dijemput," lanjut Bastian, ia menunjukkan hasil chat singkatnya bersama Pak Agustinus. Ryan langsung melongo setelah mengetahui hal tersebut. Bastian tidak pernah menceritakan tentang hal itu selama ini.
Baru saja Ryan hendak membuka mulut untuk bertanya lebih jauh. Suara panggilan Pak Agustinus terdengar dari belakangnya.
"Pa, katanya mau dijemput?" Bastian mencium tangan pria tua yang baru kembali dari rapat. "Iya. Ryan, berkas-berkas udah di simpan di atas meja saya?" pertanyaan Pak Agustinus langsung dibalas anggukan oleh Ryan yang masih shock dengan kenyataan sepele tersebut.
"Okay, Bro. Gue duluan," Bastian menepuk-nepuk pundak Ryan dan pergi dari sana.
"Bisa mati Kania kalau tau Bastian punya bokap galak," Ryan berbisik, ia menggelengkan kepala setelah membayangkan keributan antara Kania dan juga Pak Agustinus soal tugas Kania yang tidak terkumpul beberapa hari yang lalu. Kania bersikeras bahwa dirinya sudah mengumpulkan tugas tersebut dan Pak Agustinus ngotot bahwa Kania tidak mengerjakan tugas darinya. Ryan menghela napas panjang dan memilih angkat kaki dari sana.
***
Angin kencang bertiup membuat beberapa helai rambut Kania berantakan. Gadis itu membuka tasnya mencari ikat rambut yang selalu ia bawa. "Aduh, ke mana sih?" ia bergumam sendiri, seluruh isi tas ia keluarkan hingga berserakan di atas meja taman kampus.
Ketika ia masih sibuk mencari ikat rambut, seseorang mencoba mengikat rambutnya dengan cekatan dari belakang. Kania sontak menoleh sebelum orang tersebut selesai mengikat rambut panjangnya. Rambutnya kembali terurai.
"Eh, Bas? Kok bisa di sini?" tanya Kania kaget, ia membulatkan kedua mata terkejut. "Tuh, kuncir rambut lo jatuh," Bastian menunjuk benda bulat berwarna biru muda di bawah meja. Kania segera mengambil benda tersebut.
"Kok lo bisa nemuin kunciran gue sih? Ajaib lo," Kania tertawa sambil mengikat rambutnya. Tawa itu semakin membuat Bastian sulit untuk jujur. Sejak melihat kedua mata Kania yang tengah tertawa, Bastian yakin bahwa hatinya telah terikat dengan gadis itu.
Bastian mengalihkan pandangan dan memilih untuk duduk di atas kursi. Kedua matanya membaca apa yang ada di laptop Kania. Kemudian ia tertawa sambil memandang laptop Kania.
"Apaan sih?" Kania ikut duduk di samping Bastian. Ia membaca ulang tulisan di layar laptop, tidak ada yang aneh. Semuanya normal baginya.
"Kania, sampai lo jadi nenek-nenek, nilai lo nggak akan naik jadi A kalau nulis daftar pustaka aja masih salah," Bastian melipat kedua tangan di depan dada, alis kirinya terangkat. Kania mengernyit tidak mengerti.
Bastian menarik laptop Kania ke arahnya. "Nih, gue kasih tau. Nulis daftar pustaka itu sebisa mungkin sesuai alfabet, nggak berantakan begini. Terus, nama penulis ditulis di depan sebelum tahun, bukan di paling belakang. Nah, begini daftar pustaka yang paling banyak dipakai. Lo ikutin ke bawahnya," Bastian menggeser laptop kembali ke depan wajah Kania yang masih mengangguk-angguk.
Kania akhirnya fokus mengetik sesuai arahan Bastian. Lima menit kemudian ia tersenyum lebar melihat hasil dari daftar pustakanya.
"Begini, kan?" Kania menunjukkan hasil tulisannya. Bastian mengangguk membenarkan. "Kayaknya lo waktu SMA kebanyakan bolos, ya, sampai hal simple aja lo nggak tau?" Bastian mengacak-acak puncak kepala Kania hingga kunciran rambutnya berantakan.
Kania mencubit perut Bastian sekuat tenaga hingga laki-laki itu mengaduh cukup kencang. "Ngomong apa lo, hm?" Kania melotot galak. "Nggak, nggak, maksud gue lo pasti dulu lagi sakit, ya, waktu pelajaran nulis daftar pustaka? Jadi nggak sekolah, gitu, ya?" Bastian mengusap perutnya yang ia yakini akan segera memerah. Kania mendengus dan memutar bola matanya.
"Lo ngapain sih ke sini?" tanya Kania sambil menutup laptop. "Gue mau jemput Pap-eh, temen gue, mobilnya mogok katanya," jawab Bastian, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kania mengangguk saja, ia kini bersiap untuk pulang.
"Ya udah, gue pulang duluan," gadis itu melangkah pergi. Namun, tangannya kembali ditarik oleh Bastian. "Gue anterin, ya," ucap laki-laki itu, Kania berbalik dan langsung menangkap kedua mata Bastian dengan agak mendongak. Well, tingginya hanya 155 cm dan kini tengah menatap manusia setinggi 185 cm. Sangat lebih dari cukup untuk membuat lehernya pegal-pegal.
"Temen lo gimana?"
"Bisa pulang sendiri. By the way, lo pendek banget sih," Bastian tertawa mengejek tinggi badan Kania. Kania bersiap untuk mencubit perut Bastian lagi, tetapi kini laki-laki itu berlari menjauh. Kania tertawa gemas dan mengejar Bastian.
***
Gubrak!
"Bastian!" Kania berteriak histeris ketika Bastian terjatuh ke belakang dari kursi yang sedang diduduki. Kania bergegas membantu Bastian. Sementara pengunjung restoran telah menertawai Bastian yang bukan hanya terjatuh, tetapi juga tersiram jus jeruk di sebagian wajahnya. Belum lagi posisi jatuh yang sangat tepat dijadikan bahan tertawaan.
"Ya ampun, Bastian. Lo nggak apa-apa? Gue kira lo pingsan," Kania membersihkan kemeja abu-abu Bastian dengan tisu. Wajahnya tidak menunjukkan tawa sedikit pun, melainkan kekhawatiran. Gadis itu mengedarkan pandangan sambil memandang tajam orang-orang yang masih menertawai Bastian.
"Gue nggak apa-apa. Tapi, gue malu," Bastian berbisik. Tangan kanannya masih memegang gelas kosong yang isinya telah tumpah ke mana-mana. Kania menggelengkan kepala dan membantu Bastian duduk kembali di kursi. Petugas kebersihan telah datang untuk membersihkan bekas jus jeruk.
"Makanya hati-hati. Lagian kenapa lo bisa jatuh ke belakang gitu sih?" Kania melanjutkan memakan steak yang tersisa separuh.
"Gue lupa kursinya nggak ada sandarannya," jawab Bastian, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menahan malu yang teramat sangat. Tidak, ia tidak malu ditertawakan di depan umum, tetapi ia malu karena ada Kania di sana. Sungguh, rasanya ia ingin menghilang sekarang juga.
Kini Kania mengulum senyum. Terlihat menahan tawa, hal itu membuat Bastian semakin salah tingkah. Kemejanya telah kotor oleh noda berwarna jingga. "Lo jangan ketawa," ucap Bastian sambil membersihkan rambut hitamnya.
"Habis ini kita beli kemeja dulu, baru nonton," jawab Kania, ia berusaha mengalihkan ingatannya dari kejadian tadi. Di sisi lain ia ingin tertawa, tetapi melihat pengunjung restoran yang menertawakan Bastian, ia tidak terima dan berubah menjadi kesal. Bastian hanya mengangguk, beruntung mereka sedang berada di mal, tidak perlu repot mencari kemeja.
"Thank you, ya. Lo nyebelin, tapi kadang bisa jadi hero juga," Bastian tersenyum simpul ke arah Kania. Gadis itu ikut tersenyum dengan kedua pipi yang memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...