Silakan pergi kali ini, namun jangan lupa untuk kembali lagi
***
Bastian mengetuk-ngetuk jari tangan ke atas meja. Ia menunggu dengan sedikit gelisah. Sudah sekitar dua jam ia menunggu di kantin kampus Kania. Namun, gadis yang ditunggu belum juga terlihat.
Bastian membuka kembali kunci layar ponsel dan menghubungi Kania. Ponselnya tidak aktif dan pesan-pesannya tidak dibaca sama sekali. Laki-laki itu menyesap kopinya hingga habis kemudian bangkit dari tempat tersebut.
"Woy, Bas!" seruan seseorang membuat Bastian menoleh dengan sedikit terkejut. Ia melihat Ryan tengah berlari kecil ke arahnya dari luar area kantin.
"Lo mau jemput Pak Agustinus?" tanya Ryan. Laki-laki itu membenarkan letak kacamatanya yang sedikit miring. Bastian menggelengkan kepala. "Gue lagi ... Nungguin Kania. Dia ngajak ketemu," jawabnya.
Ryan menyipitkan kedua matanya. "Hah? Gue nggak salah denger, kan? Lo nungguin Kania?" ulang Ryan sambil menunjukkan ekspresi wajah heran. Bastian lebih heran dibuatnya.
"Iya, kenapa?"
Ryan menghela napas. "Bas, Kania udah pulang daritadi sama Ovie," jawaban Ryan membuat Bastian melotot tidak percaya. "Tapi dia bilang sama gue, hari ini, di jam sekarang, kita mau ketemu," ucap Bastian.
Ryan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Permasalahan ini akan rumit bagi Bastian dan juga Kania. "Gue juga nggak tau. Tapi tadi Kania pulang sama Ov-"
"Di mana mereka sekarang?" potong Bastian, ia mengguncang kedua bahu Ryan. "Ke mall. Nggak tau deh mall mana," jawab Ryan sedikit terkejut dengan perlakuan Bastian. Bastian langsung pergi dari hadapan Ryan secepat kilat, ia tahu mall mana yang Ryan maksud.
***
Kania tersenyum kecil melihat boneka berbentuk kelinci di sebuah etalase toko boneka. Lucu dan menggemaskan, seperti kelinci betulan.
"Kania," Ovie yang baru keluar dari toilet langsung menepuk pundaknya. "Yuk, katanya mau nonton," lanjut Ovie. Kania mengangguk dan mengikuti langkah Ovie menuju eskalator.
"Gue seneng banget deh, kemarin Ryan ngasih gue ini," Ovie mengacungkan tangan kanannya. Di sana terdapat sebuah gelang emas yang terlihat manis di tangan Ovie.
"Wah, bisa romantis juga dia," Kania menahan tawanya, ia masih memperhatikan gelang di tangan Ovie. Sampai di lantai paling atas mall, Kania menghentikan langkahnya.
Tepat di dekat pintu masuk bioskop, Bastian sudah menatapnya. Kania menelan ludah dan melangkah perlahan. "Itu Bastian. Lo janjian sama dia?" tanya Ovie. Kania tidak menjawab, ia sibuk dengan rasa khawatirnya.
Namun, selambat apapun ia melangkah, ia akan sampai juga di hadapan Bastian. "Ke mana aja?" tanya Bastian dengan tatapan sayu. Ia menatap Kania lekat-lekat. Sementara Kania hanya diam, pikirannya buntu sekarang.
"Ehm, gue pesen tiket dulu deh, ya. Takut keburu habis," Ovie tersenyum singkat dan segera pergi dari 'area perang' itu.
Bastian masih menatap Kania dengan tatapan seperti tadi. "Gue nungguin lo dua jam. Dua jam, Kania, di kampus lo," lanjut laki-laki itu dengan wajah datar. Terlihat bahwa ia marah dengan Kania.
"Gue telepon, nggak diangkat. Gue chat, nggak dibales. Dan, see? Lo lagi main di sini," ucap Bastian sambil tersenyum miring. Kania masih diam, ia tidak menatap wajah Bastian sama sekali.
"Gue udah minta maaf sama lo. Gue udah bujuk lo supaya lo nggak marah lagi sama gue. Kalau lo masih marah, it's okay, gue ngerti posisi lo. Tapi, ya, nggak begini juga dong, Ni," lanjut Bastian. "Terus lo maunya apa? Gue, kan, udah bilang sama lo. Lo nggak usah temui gue lagi," balas Kania dengan suara pelan dan bergetar.
"Gue sayang sama lo. Gue nggak mau kehilangan lo. Masa gue harus jelasin lagi, gimana nggak teganya gue waktu pertama kali lihat lo yang seneng ngelihat gue. Menganggap gue sebagai Baskara. Sampai akhirnya gue harus cari waktu yang tepat buat jelasin kematian Baskara ke lo," ucap Bastian.
"Nggak begini caranya, Ni. Nggak begini. Atau, lo mau balas dendam karena gue udah bohong sama lo? Jawab, Kania," desak Bastian. "K-kalau iya kenapa?" tanya Kania yang perlahan menatap wajah Bastian. Ia melihat ada kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan kekesalan di wajah Bastian.
Bastian mundur dan mengangguk-anggukan kepala. "Okay, sekarang udah terbalas, kan? Udah puas, kan? Ya udah, kalau lo mau gue pergi. Gue pergi," ucap laki-laki itu sesaat sebelum ia melangkahkan kaki meninggalkan Kania.
Kania merasakan hatinya seolah teriris, sakit sekali. Dalam pandangannya yang telah buram, ia menatap punggung Bastian yang menjauh hingga menghilang. Air matanya mulai menetes deras di kedua pipinya. Ia melangkah cepat menuju toilet.
Bastian marah, sangat marah. Kania mempermainkannya. Namun, Kania memang belum siap untuk menerima Bastian lagi. Semuanya sungguh sulit. Gadis itu menangis dan meremas rambutnya yang panjang terurai.
***
Bastian menutup pintu mobilnya dengan kencang hingga menimbulkan getaran. Laki-laki itu memukul stir mobil kuat-kuat. Tangan kanannya memerah karena hal tersebut.
Tidak mampu ia menjelaskan perasaannya sekarang. Perasaannya saat melihat Kania yang tertunduk, memelas, dan menangis. Semuanya bercampur menjadi satu. Kesal, marah, kecewa, dan ... Sayang. Perasaan-perasaan itu benar-benar tercampur hingga membuatnya pusing.
Dari kejauhan, ia melihat Harold tengah melangkah menuju mobilnya. Bastian segera turun dan menangkap wajah Harold yang memerah karena marah. Tangan kirinya terlihat terkepal.
"Lo apain Kania?" pertanyaan itu membuat Bastian mengernyitkan alis. "Lo apain dia sampai dia nangis begitu? Lo ngomong apa sama dia?" Harold masih terus bertanya dengan nada sinis.
"Gue lihat lo ngobrol sama dia di depan bioskop, terus lo tinggalin dia di sana. Sampai dia nangis. Lo jawab pertanyaan gue!" Harold mulai meninggikan suaranya. Ia menatap Bastian dengan tatapan marah.
"Lo jangan ikut campur urusan gue sama Kania," jawab Bastian tenang. Ia berusaha bersikap biasa saja. Harold tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.
"Wow! Urusan Kania juga urusan gue," ucap Harold yang berhasil membuat Bastian mencengkeram kerah kemeja Harold. "Lo nggak ada urusan, ya, sama Kania. Jangan macem-macem lo," Bastian menatap nyalang kedua mata Harold.
"Gini, Bro," Harold menurunkan kedua tangan Bastian dari kerah kemejanya. "Cuma laki-laki lemah yang berani bikin perempuan nangis," lanjut Harold. Laki-laki blasteran itu tersenyum kecut dan pergi dari sana. Meninggalkan Bastian yang hanyut dalam kebimbangan dan kemarahannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
Roman d'amourPercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...