Semakin kamu berlari menjauh, semakin ingin aku berlabuh
***
Sinar mentari masuk melalui celah jendela kamar, menyilaukan siapapun yang melihatnya. Seorang laki-laki bertubuh tegap membuka selimutnya dan terduduk. Penglihatannya masih buram.
Lima menit kemudian Bastian berdiri, mengambil air putih di dapur, dan duduk di depan televisi. Tangannya asyik menekan-nekan tombol mencari channel yang sekiranya baik ditonton.
"Handphone gue," ia bergumam, laki-laki itu menyimpan gelas di atas meja depannya dan bergegas kembali ke kamar. Namun, ponselnya tidak ada di sana. Padahal ia ingat sekali semalam ia simpan benda tersebut di atas nakas.
Bastian melangkah menuju ruang tamu dan ponselnya tergeletak di sana. Ia meraih ponselnya dan seketika terlonjak kaget. Ada belasan missed call serta puluhan pesan masuk dari Ovie, Ryan, serta Harold.
Ia membaca satu pesan dari Harold yang sangat membuatnya panik.
Harold :
Hm, gue kira lo cukup baik buat Kania. Tapi, nyatanya lo lebih parah dari ituBastian mengatur napasnya yang memburu. Ia menekan nomor ponsel Harold, namun ponselnya tidak aktif.
Bastian berganti melihat salah satu pesan dari Ryan semalam.
Ryan :
Aduh, Man. Nggak gini caranya. Kania ngilang, lo juga ngilang. Tapi, gue sebagai sepupu lo kecewa banget sih. Bisa-bisanya lo begituBastian menekan tombol hijau pada nomor Ryan. Tetapi sama seperti Harold, ponselnya tidak aktif sama sekali.
"Kania ngilang?" Bastian baru menyadari hal itu. Ia mencari nomor kontak Kania dan ternyata gadis itu telah mengganti nomornya.
Ponselnya berbunyi nyaring, Bastian segera mengangkat telepon tersebut. "Harold! Lo harus cerita sama gue, ini sebenernya ada apa, hah?!"
"What? Lo masih pura-pura nggak tau? Lo gila, ya," Harold membentaknya di seberang sana. Bastian mengerutkan kening dan berpikir keras.
"Maksud lo apaan sih?" ia akhirnya menyerah. Bastian melangkah gusar menuju pintu rumah yang tertutup, ia membukanya dan duduk di kursi teras.
"Lo parah. Lo pikir gue nggak tau lo semalam ngapain, hm? Masih untung gue nggak kasih tau Kania siapa cewek itu!" Harold terdengar sangat kesal. Bastian membulatkan kedua matanya.
"Lo nggak mikirin perasaan Kania, ya? Kania udah capek sama lo. Kerjaan lo tuh ngilang terus, pergi terus dari dia, sementara Kania banyak ngabisin waktu buat nangisin kelakuan lo," Harold berusaha tidak menonjok tembok di hadapannya saking kesalnya dengan Bastian.
Bastian meneguk ludah. "Gue sama sekali nggak tau apa yang udah gue lakuin semalam," jawabnya dengan sedikit tercekat.
"Tapi, Kania udah tau apa yang lo lakuin semalam! Lo nggak usah cari Kania, dia benci sama lo," Harold langsung menutup telepon dan membanting ponselnya ke atas sofa.
Sementara Bastian mengepalkan jari-jemari tangan kanannya hingga memerah. Laki-laki itu mengambil jaket yang tergantung di dinding dan melangkah pergi dari rumahnya tanpa mengunci pintu.
***
"What are you doing with me last night?!" Bastian dengan kasar mendobrak pintu rumah seorang gadis berusia satu tahun di bawahnya. Gadis yang sedang mencoba sepatu barunya di ruang tamu langsung menoleh kaget.
"Why you come to my house without any permission, Brenda?!" Bastian lagi-lagi membentaknya kasar. Sementara gadis bernama Brenda itu segera melepas sepatunya dan berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...