NINE

276 158 83
                                    

Berat itu ketika aku berpura-pura rela kehilanganmu

***

Mungkin setiap orang akan mengerti, bahwa terkadang kebohongan adalah sebuah perisai yang sangat tajam. Kebohongan akan melukai orang lain atau bahkan diri sendiri. Namun, banyak orang yang menggunakan kebohongan untuk menjaga agar ia tidak kehilangan orang tersayangnya.

Sebaik apapun kebohongan, tentunya hal itu akan berseberangan dengan pahitnya kejujuran. Jujur itu baik. Namun, memang sangat menyakitkan. Membuat diri sendiri dan orang lain terluka juga bisa merupakan akibat dari kejujuran.

Bastian memandangi fotonya bersama Baskara. Keduanya tersenyum ceria dengan memakai celana pendek biru tua dan berangkulan di atas pasir pantai. Gigi keduanya belum tumbuh banyak, foto tersebut terlihat sangat menggemaskan.

"Kar, seandainya lo ada di sini," ucap Bastian pelan. Rasa rindu memang tidak memandang bulu. Laki-laki kuat, laki-laki lemah, perempuan kuat, atau perempuan lemah pasti akan pernah merasakan rindu. Rindu yang teramat sangat, membuat hati seolah terpecah-belah.

"Kania marah sama gue," lanjut Bastian. Ia menghela napas panjang kemudian menyimpan kembali figura foto ke dalam laci meja. Bastian kini beralih membuka kunci layar ponselnya. Menekan tombol hijau pada seuntai nama "Kania Bawel" di sana. Nama yang ia cantumkan sejak perempuan itu banyak sekali berbicara kepadanya.

Hingga dering terakhir, teleponnya tidak juga diangkat. Ini sudah kali ke sepuluh ia menelepon Kania dan tidak diangkat. Pesan-pesannya pun tidak dibalas.

"Kania, please," Bastian menekan kembali tombol hijau. Menunggunya hingga dering itu mati. Ia mengusap wajah dengan kasar.

Salahkah ia jika memilih untuk jujur? Jujur karena sesungguhnya ia sangat mencintai Kania dan tidak ingin kehilangan gadis itu.

***

"Oh, Gosh! Lo ngambek?" Ovie menepuk jidat dengan cukup kencang hingga menimbulkan bunyi "plak" pelan.

Kania mengangguk. "Gue kesel, Vie. Kenapa dia nggak jujur aja sejak awal?" tanya gadis itu. Pagi itu ia memilih bercerita kepada sahabat paling setianya di kampus. Ovie menggaruk kepalanya.

"Nia, gue bukannya mau ngebela Bastian. Tapi, apa yang dilakuin sama Bastian itu nggak salah. Dia udah berani jujur, mau kasih tau semuanya ke lo, dan dia juga nggak ada niat jahat apapun," jelas Ovie. Ia mengaduk jus alpukatnya yang telah tercampur dengan susu kental manis coklat.

Kania terdiam, beberapa detik kemudian ia menggelengkan kepala. "Masalahnya bukan itu. Pertanyaan gue, kenapa dia ngasih tau ini setelah gue dan dia kenal cukup lama? Kalau tujuan dia sejak awal itu mau ngasih tau gue tentang kematian Bastia-ehm, Baskara, kenapa dia nggak langsung kasih tau aja? Kenapa dia harus bertindak seolah-oleh dia itu teman masa kecil gue dulu?" Kania menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menahan diri untuk tidak menangis dan itu adalah salah satu caranya.

Ovie menepuk pelan bahu kanan Kania. "Gue tau lo kesel. Gue juga tau lo merasa dibohongin sama dia."

"Tapi, Ni, Bastian pasti punya alasan logis untuk ngejawab pertanyaan lo," lanjut Ovie. Kania menarik kedua tangan dari wajahnya. Hidungnya sudah memerah, begitu juga kedua matanya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan kenyataan ini.

"Gue cuman butuh Baskara, bukan Bastian, Vie. It's different. They're different," ucap Kania lirih, ia teringat wajah Baskara, ketika laki-laki itu tersenyum padanya, menolongnya yang terjatuh dari sepeda, mengajarinya matematika, dan masih banyak lagi.

Ovie hanya bisa diam, ia tidak mau terlalu mencampuri urusan Kania dan Bastian. Namun, di sisi lain ia juga ingin membantu memperbaiki hubungan keduanya.

Kania membuka tasnya, ia mencari ponselnya. "Lo mau ngapain?" tanya Ovie sambil memperhatikan gerak-gerik Kania.

"Telepon Bastian," balas Kania cepat. Ia kemudian menempelkan ponsel di telinga. Tidak perlu menunggu lama, Bastian langsung mengangkatnya.

"Kania, lo ke mana aja? Lo nggak apa-apa, kan? Maafin gue, gue-"

"Gue mau tau makamnya Baskara. Setelah gue tau makam Baskara, gue harap lo nggak perlu lagi temui gue," ucap Kania, ia memejamkan kedua matanya. Entah kenapa setelah mengucapkan kalimat itu ia merasakan sudut hatinya terasa berat.

"Kania, kita perlu ketemu. Nanti siang, setelah gue kuliah, gue jemput lo," Bastian langsung mematikan telepon secara sepihak. Ia tidak ingin mendengar kalimat menyakitkan tadi lagi.

Bastian yakin bahwa ia harus menyelesaikan semuanya.

***

Kring ... Kring ...

Suara lonceng sepeda Kania terdengar, ia sedang mengikuti sepeda Bastian kecil alias Baskara yang jauh di depannya. Gadis itu mengikuti sahabatnya dengan wajah cemberut. Ia sudah lelah naik sepeda sejak tadi.

"Bastian, istirahat dulu, yuk," Kania akhirnya angkat bicara. Baskara menghela napas dan menghentikan laju sepedanya. "Kan tadi udah istirahat," balas laki-laki itu. Ia menunggu Kania hingga sepeda mereka sejajar.

"Aku nggak mau naik sepeda lagi, capek," Kania melipat kedua tangannya. Bibirnya ia kerucutkan, hal itu membuat Baskara tertawa. Baskara turun dari sepedanya dan membawa Kania ke sebuah kursi panjang di pinggir jalanan komplek.

"Kamu tau nggak, kalau kamu bersepeda, kamu nanti jadi terbiasa memperjuangkan sesuatu," ucap Baskara. Kania yang sedang meminum air langsung menoleh.

"Kata Mamaku, bersepeda itu sama aja kayak hidup. Kita menggoes sepeda susah-susah pasti ada tujuannya. Misalnya mau ke supermarket, rumah teman, atau ke mana pun. Perjalanannya sih emang capek, tapi kalau udah sampai ke tujuan, kan kita juga yang seneng," lanjut Baskara disertai senyuman singkatnya.

"Tetep aja males. Aku nggak suka naik sepeda. Dibonceng aja," balas Kania masih dengan ekspresi wajah cemberut.

"Siapa yang mau bonceng kamu? Kamu gendut gini," Baskara menjulurkan ujung lidahnya. Kania sontak menoleh dan berusaha mencubit lengan laki-laki itu.

"Awas, ya, aku mau ngambek nih," Kania gemas.

"Yee, ngambek kok bilang-bilang," Baskara tertawa lepas, senang karena berhasil membuat Kania kecil kesal kepadanya.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang